Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di
Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam
internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas
muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum
Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu.
Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum
muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-,
dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim
hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam
secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah
hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan
juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi
bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya,
sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah
proses yang dapat selesai seketika.
1.
Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan
Belanda
Dalam konteks sejarah
Nusantara, hukum Islam telah diterapkan pada masa-masa kerajaan Islam. Yang
menjadi hukum di kerajaan-kerajaan itu adalah hukum-hukum syari’at. Literatur
yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literatur fiqih
dengan mazhab syafi’i.[1]
Sebagai
gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang
kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim.[2] Samodra pasai merupakan tempat pertama Islam masuk ke nusantara, karena
letaknya strategis untuk perdagangan melalui transportasi laut. Mazhab (aliran)
hukum Islam yang berkembang dikerajaan Samudra pasai yaitu mazhab syafi’i. [3]
paling tidak, Ibnu Bathutahah, seorang pengembara muslim abad ke-14 mencatat
fakta historis tersebut dalam karya monumentalnya “rihlah Ibnu Bhatuthah. Dia menyebutkan kunjungannya di sebuah
kerajaan Islam do pesisir Sumatera, menerapkan hukum fikih mazhab Syafi’i,
rakyatnya senang berjihad dan perang tetapi mempunyai sifat tawadlu’ yang
tinggi.[4]
Hasrat memberlakukan hukum islam juga dilakukan para
penguasa kesultanan Aceh. Ini terbukti dengan adanya teks bustan as-salatin,
karangan Nuruddin Ar-Raniri, mencatat bahwa sultan Alaudin adalah raja yang
alim, yang sangat menghendaki rakyatnya melaksanakan ajaran islam. Bahkan, di
kesultanan Aceh penerapan hukum islam lebih jauh dilakukan melalui lembaga yang
dirancamg bertanggung jawab dalam tugas yang demikian yaitu lembaga kadi. Masa kejayaan kesultanan Aceh terjadi pada masa sultan alaudin Riayat Syah
tersebut. Pada masa itu, Aceh mulai berhubungan dengan pusat-pusat perkembangan
Islam di tingat Internasional sehingga aceh dapat menjalin hubungan dengan
Kerajaan Turki usmani.[5]
Pembagian hukum Islam hanya berlaku pada maslah Agama dan Masyarakat. Pengembara
asal Prancis yang singgah di Aceh pada tahun 1621, mencatat adanya dua lembaga
hukum yang berlaku di kerajaan, yaitu peradilan yang murni mengurusi keagamaan,
tepatnya perilaku masyarakat yang bertentangan dengan hukum islam, seperti
minum alkohol, berjudi, meninggalkan sholat dan puasa, serta peradilan yang
berurusan dengan masalah kemasyarakatan seperti perkawinan, cerai dan warisan.[6]
Mazhab hukum Islam yang
berkembang di kerajaan Aceh yaitu Mazhab
Syafi’i, yang pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda mempunyai seorang
mufti yang terkenal bernama syekh Abdul Rouf Singkel. Selain itu, ada ulama
besar Nuruddin Arraniri dengan kitab karangannya yang berjudul Sirathal Mustaqim. Kitab tersebut
digunakan sebagai pedomanbagi guru-guru agama dan Qhodi.[7]
Mazhab Syafi’i berkembang pesat di Aceh. Banyak ulama-ulama mazhab Syafi’i
yang berdomisili di Aceh. Hal tersebut tidak lepas dari semangat Sultan
Iskandar Muda Makhkota Alam Syah dan
sultan sesudahnya yang sangat menggalakkan kedatangan para ulama untuk
kepentingan dakwah Islamiyah.[8]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke
berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri
menyusul berdirinya Kesultanan Malaka yang juga
menerapkan hukum Islam. Di kesultanan Malaka,
aturan tersebut tertuang dalam undang-undang Malaka yang berisi regulasi
kerajaan mengenai hampir semua aspek kehidupan di kerajaan, dan undang-undang
laut Malaka. Yang lebih spesifik pada pengaturan aspek keamanan perdagangan
maritim di kerajaan dalam upaya penerapan hukum Islam di kalangan masyarakat
kerajaan. Dalam
undang-undang Malaka, ditulis misalnya aturan mengenai hak dan kewajiban raja
seta para elite politik di kerajaan. Ketentuan pernikahan termasuk hukum talak
atau cerai, hukum pidana untuk menciptakan keagamaan di lingkungan kerajaan,
dan regulasi mengenai kegiatan perdagangan. Sebagian besar aturan tersebut
diadopsi dari hukum islam, selain hukum adat yang berlaku di masyarakat. [9]
Kenyataan serupa juga dapat
ditemukan di kerajaan Banjar.
Kentalnya hukum Islam di kerajaan Banjar ini tercermin
dari ba’iat yang berbunyi “ patih baraja’an Dika, Andika badayan Sara.”
Artinya, saya tunduk pada perintah Tuanku, karena Tuanku berhukumkan syara’.
Selain itu tumbuh daan berkembangnya hukum Islam di kerajaan banjar dibuktikan
dengan terbentuknya para mufti atau qadli., yang pada waktu itu bertugas untuk
menangani masalah-masalah di bidang hukum perceraian, perkawinan, kewarisan
serta segala urusan yang berhubungan dengan hukum keluarga.[10]
Selain itu Mufti yang terkenal pada saat itu ialah Syaikh Muhammad Arsyad
al-Banjari. Kitab fikih karya Arsyad yang cukup terkenal adalah Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh fi Amr ad-Din,
yang pada dasarnya merupakan sarah dari kitab Sirathal Mustaqim karay Nuruddin Arraniri[11].
Guna mengefektifkan pelaksanaan hukum Islam di
Kesultanan Banjar dan di masyarakat, maka diperlukan adanya lembaga yang khusus
mengurusi dan menampung permasalahan pemberlakuan hukum Islam tersebut. Oleh
karena itu Syekh Arsyad mengajukan saran untuk dibentuk Mahkamah Syari’ah dan
Jabatan Mufti.[12]
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat
dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum
positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap
kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah
berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan
dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara
pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang
Belanda datang ke kawasan nusantara.
2.
Penerapan Hukum Islam
pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal
penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran
Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal
dengan VOC. Kedatangan belanda di Indonesia memberikan
suatu dampak yang kurang baik. Hukum Islam yang bermazhab Syafi’i yang
berlangsung cukup lama, di hapus pada pemerintah kolonial Belanda dan
menggantinya dengan hukum belanda. Hukum syari’at hanya dibatasi untuk
bidang-bidang keluarga seperti nikah, tala’, ruju’, dan yang sejenisnya. [13]
Namun, penggunaan
hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi
berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun
membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka
jalankan.
Pada tanggal
25 Mei 1760, Belanda menerbitkan peraturan Resolutie der Indische Regeering
yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Melalui peraturan ini,
dalam peraturan tersebut Belanda hanya mengakui berlakunya hukum Islam dalam
bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) saja dan menggantikan
kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau
sultan dengan peradilan buatan Belanda dengan hakim-hakim Belanda dibantu oleh
para penghulu qadhi Islam.[14]
Untuk membatasi ruang gerak ulama dalam mengembangkan hukum Islam,
dikeluarkan Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No, 78 yang menugaskan kepada
Gubernur Jendral untuk mencampuri masalah agama. Bahkan, harus mengawasi
gerak-gerik para ulama bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban
keamanan.[15]
Untuk melaksanakan tugas itu pemerintah Belanda membentuk suatu komisi di bawah
ketua Mr. Scholten van Dad Haarlem.
Pada tahun 1882 terbentuklah peradilan Agama yang menjadi sebuah institusi
yang mengurusi masalah di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, sedekah dan
wakaf. Sebelum menjadi sebuah institusi, peradilan agama masih berbentuk
perorangan yang hakimnya dipegang oleh para penghulu atau ahli agama. Dengan di
bentuk peradilan Agama menjadi sebuah institusi, jelaslah bahwa pemerintah
Belanda mengakui bahwa hukum Islam (godsdiengtige
Wetten) berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam.[16]
3.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan
Jepang
Setelah Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima
militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera
Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag
meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral
Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi
keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa
pendudukan Belanda.
Meskipun
demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk
menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
a.
Janji Panglima Militer Jepang untuk
melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b.
Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan
Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
c.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam,
seperti Muhammadiyah dan NU.
d.
Menyetujui berdirinya Majelis Syura
Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e.
Menyetujui berdirinya Hizbullah
sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh
Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang
ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan
tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan
alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan
demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama
masa pendudukan Jepang di Tanah air. Kebijakan
pemerintah Jepang terhadap peradilan Agama tetap meneruskan kebijakan
sebelumnya (masa kolonial Belanda).[17] Namun bagaimanapun juga, masa
pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru
bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
4.
Hukum Islam di Era Orde Lama dan
Orde Baru
Pada masa Orde Lama hukum Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan dikatakan pada masa itu hukum
Islam berada pada masa yang amat Suram. [18] Salah satu
partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan
oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di
Sumatera Barat). Sementara NU bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun
komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. NU memiliki peran dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia walaupun
tidak begitu berarti. Akan tetapi, peran untuk pengembangan hukum Islam di
tengah-tengah masyarakat sangatlah besar, setidaknya bagi anggota-anggota yang
memang penduduk mayoritas di Indonesia.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia mengalami masa yang amat suram.
Namun, ada perkembangan unik di daerah Aceh. Pada tanggal 7 April 1962 Panglima
Militer Aceh menyatakan menyutujui hasrat para pemimpin umat Islam untuk
dipatuhinya beberapa unsur hukum Islam di daerah Aceh. Selanjutnya, tanggal 15
Agustus 1962 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan akan melaksanakan
unsur-unsur syariat itu juga di usulkan untuk membentuk sebuah majelis. Usulan
tersebut akhirnya terwujud dengan dibentuknya Majelis Ulama pada tahun 1966.[19]
Menyusul
gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam
Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka
mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di
Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi
yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan
perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali
partai Masyumi.
Meskipun
kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu
tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus
dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama
dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan
Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal,
upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang
mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian
membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama
sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU
ini, dengan sendirinya, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum
yang berdiri sendiri.
Penegasan
terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989
tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha
intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya
ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden
menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada
Menteri Agama.
5.
Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto
akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok
Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang
berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari
itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum
Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata
di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor
11 Tahun 2002.
Dengan
demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum
Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat
melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang
bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai
norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian secara singkat dari pembahasan masalah ini, penulis
sedikit dapat menyimpulkan beberapa hal antara lain: perkembangan dan
pertumbuhan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia ada dan berdiri. Penerapan hukum Islam berkembang pesat pada
masa itu. Namun, setelah Belanda datang, posisi hukum Islam tidak mengalami kemajuannya
karena diskriminasi dari Belanda. Hal itupun terjadi hingga Orde Baru. Memang
ada sedikit upaya dari umat muslim untuk mengupayakan pemakaian hukum Islam
bagi rakyat Indonesia.
Era
reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh
tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis,
ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula
kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang
ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam
sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya.
Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran
yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan
anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.
[1] Daud Rasyid
DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan.
(jakarta:Globalmedia, 2004). Hal. 54
[2] Roibin M.
Hi, Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press,
2010). Hal. 131
[3] Warkum
Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di
Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 17
[4] Daud
Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan.
(jakarta:Globalmedia, 2004). Hal. 55
[5] Warkum
Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia.
(Malang: Bayumedia, 2005). Hal. 18
[6] Roibin,
Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010).
Hal. 132-133
[7] Warkum
Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Dinamika Sosial Politik di
Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2005). Hal. 19
[9]M. Hi,
Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010).
Hal. 132
[10] Warkum
Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di
Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 29
[12]
ay4x.wordpress.com/kyai-abdurahman-wahid/foto-–-foto-para-ulama/syaikh-arsyad-al-banjari/
[13] Daud
Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan.
(jakarta:Globalmedia, 2004). Hal.55
[14] http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2165:legislasi-harmonisasi-hukum-islam&catid=11:opini&Itemid=8
[15] Warkum
Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di
Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 37-38
[16] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial
politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 40-41
[17] Ibid
Hal. 86
[18] Ibid
Hal. 108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar