Selamat Datang Kawan di Blog SPI B

Minggu, 22 April 2012

Sejarah Penerapan Hukum Islam di Indonesia



Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.

Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.

1.      Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Dalam konteks sejarah Nusantara, hukum Islam telah diterapkan pada masa-masa kerajaan Islam. Yang menjadi hukum di kerajaan-kerajaan itu adalah hukum-hukum syari’at. Literatur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literatur fiqih dengan mazhab syafi’i.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim.[2] Samodra pasai merupakan tempat pertama Islam masuk ke nusantara, karena letaknya strategis untuk perdagangan melalui transportasi laut. Mazhab (aliran) hukum Islam yang berkembang dikerajaan Samudra pasai yaitu mazhab syafi’i. [3] paling tidak, Ibnu Bathutahah, seorang pengembara muslim abad ke-14 mencatat fakta historis tersebut dalam karya monumentalnya “rihlah Ibnu Bhatuthah. Dia menyebutkan kunjungannya di sebuah kerajaan Islam do pesisir Sumatera, menerapkan hukum fikih mazhab Syafi’i, rakyatnya senang berjihad dan perang tetapi mempunyai sifat tawadlu’ yang tinggi.[4]
Hasrat memberlakukan hukum islam juga dilakukan para penguasa kesultanan Aceh. Ini terbukti dengan adanya teks bustan as-salatin, karangan Nuruddin Ar-Raniri, mencatat bahwa sultan Alaudin adalah raja yang alim, yang sangat menghendaki rakyatnya melaksanakan ajaran islam. Bahkan, di kesultanan Aceh penerapan hukum islam lebih jauh dilakukan melalui lembaga yang dirancamg bertanggung jawab dalam tugas yang demikian yaitu lembaga kadi. Masa kejayaan kesultanan Aceh terjadi pada masa sultan alaudin Riayat Syah tersebut. Pada masa itu, Aceh mulai berhubungan dengan pusat-pusat perkembangan Islam di tingat Internasional sehingga aceh dapat menjalin hubungan dengan Kerajaan Turki usmani.[5] Pembagian hukum Islam hanya berlaku pada maslah Agama dan Masyarakat. Pengembara asal Prancis yang singgah di Aceh pada tahun 1621, mencatat adanya dua lembaga hukum yang berlaku di kerajaan, yaitu peradilan yang murni mengurusi keagamaan, tepatnya perilaku masyarakat yang bertentangan dengan hukum islam, seperti minum alkohol, berjudi, meninggalkan sholat dan puasa, serta peradilan yang berurusan dengan masalah kemasyarakatan seperti perkawinan, cerai dan warisan.[6]
Mazhab hukum Islam yang berkembang di kerajaan Aceh yaitu  Mazhab Syafi’i, yang pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda mempunyai seorang mufti yang terkenal bernama syekh Abdul Rouf Singkel. Selain itu, ada ulama besar Nuruddin Arraniri dengan kitab karangannya yang berjudul Sirathal Mustaqim. Kitab tersebut digunakan sebagai pedomanbagi guru-guru agama dan Qhodi.[7] Mazhab Syafi’i berkembang pesat di Aceh. Banyak ulama-ulama mazhab Syafi’i yang berdomisili di Aceh. Hal tersebut tidak lepas dari semangat Sultan Iskandar Muda Makhkota  Alam Syah dan sultan sesudahnya yang sangat menggalakkan kedatangan para ulama untuk kepentingan dakwah Islamiyah.[8]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kesultanan Malaka yang juga menerapkan hukum Islam. Di kesultanan Malaka, aturan tersebut tertuang dalam undang-undang Malaka yang berisi regulasi kerajaan mengenai hampir semua aspek kehidupan di kerajaan, dan undang-undang laut Malaka. Yang lebih spesifik pada pengaturan aspek keamanan perdagangan maritim di kerajaan dalam upaya penerapan hukum Islam di kalangan masyarakat kerajaan. Dalam undang-undang Malaka, ditulis misalnya aturan mengenai hak dan kewajiban raja seta para elite politik di kerajaan. Ketentuan pernikahan termasuk hukum talak atau cerai, hukum pidana untuk menciptakan keagamaan di lingkungan kerajaan, dan regulasi mengenai kegiatan perdagangan. Sebagian besar aturan tersebut diadopsi dari hukum islam, selain hukum adat yang berlaku di masyarakat. [9]
Kenyataan serupa juga dapat ditemukan di kerajaan Banjar. Kentalnya hukum Islam di kerajaan Banjar ini tercermin dari ba’iat yang berbunyi “ patih baraja’an Dika, Andika badayan Sara.” Artinya, saya tunduk pada perintah Tuanku, karena Tuanku berhukumkan syara’. Selain itu tumbuh daan berkembangnya hukum Islam di kerajaan banjar dibuktikan dengan terbentuknya para mufti atau qadli., yang pada waktu itu bertugas untuk menangani masalah-masalah di bidang hukum perceraian, perkawinan, kewarisan serta segala urusan yang berhubungan dengan hukum keluarga.[10] Selain itu Mufti yang terkenal pada saat itu ialah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kitab fikih karya Arsyad yang cukup terkenal adalah Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh fi Amr ad-Din, yang pada dasarnya merupakan sarah dari kitab Sirathal Mustaqim karay Nuruddin Arraniri[11]. Guna mengefektifkan pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Banjar dan di masyarakat, maka diperlukan adanya lembaga yang khusus mengurusi dan menampung permasalahan pemberlakuan hukum Islam tersebut. Oleh karena itu Syekh Arsyad mengajukan saran untuk dibentuk Mahkamah Syari’ah dan Jabatan Mufti.[12]
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.


2.      Penerapan Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Kedatangan belanda di Indonesia memberikan suatu dampak yang kurang baik. Hukum Islam yang bermazhab Syafi’i yang berlangsung cukup lama, di hapus pada pemerintah kolonial Belanda dan menggantinya dengan hukum belanda. Hukum syari’at hanya dibatasi untuk bidang-bidang keluarga seperti nikah, tala’, ruju’, dan yang sejenisnya. [13] Namun,  penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Pada tanggal 25 Mei 1760, Belanda menerbitkan pera­turan Resolutie der Indische Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Melalui peraturan ini, dalam peraturan tersebut Belanda hanya menga­kui berla­kunya hukum Islam dalam bidang keke­luargaan (perka­winan dan kewarisan) saja dan meng­gantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan dengan pera­dilan buatan Belanda dengan hakim-hakim Belanda dibantu oleh para penghulu qadhi Islam.[14]
Untuk membatasi ruang gerak ulama dalam mengembangkan hukum Islam, dikeluarkan Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No, 78 yang menugaskan kepada Gubernur Jendral untuk mencampuri masalah agama. Bahkan, harus mengawasi gerak-gerik para ulama bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.[15] Untuk melaksanakan tugas itu pemerintah Belanda membentuk suatu komisi di bawah ketua Mr. Scholten van Dad Haarlem.
Pada tahun 1882 terbentuklah peradilan Agama yang menjadi sebuah institusi yang mengurusi masalah di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, sedekah dan wakaf. Sebelum menjadi sebuah institusi, peradilan agama masih berbentuk perorangan yang hakimnya dipegang oleh para penghulu atau ahli agama. Dengan di bentuk peradilan Agama menjadi sebuah institusi, jelaslah bahwa pemerintah Belanda mengakui bahwa hukum Islam (godsdiengtige Wetten) berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam.[16]
3.      Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
a.       Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b.      Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
c.       Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
d.      Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e.       Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f.       Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Kebijakan pemerintah Jepang terhadap peradilan Agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda).[17]  Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
4.      Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Pada masa Orde Lama hukum Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan dikatakan pada masa itu hukum Islam berada pada masa yang amat Suram. [18] Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. NU memiliki peran dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia walaupun tidak begitu berarti. Akan tetapi, peran untuk pengembangan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat sangatlah besar, setidaknya bagi anggota-anggota yang memang penduduk mayoritas di Indonesia.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia mengalami masa yang amat suram. Namun, ada perkembangan unik di daerah Aceh. Pada tanggal 7 April 1962 Panglima Militer Aceh menyatakan menyutujui hasrat para pemimpin umat Islam untuk dipatuhinya beberapa unsur hukum Islam di daerah Aceh. Selanjutnya, tanggal 15 Agustus 1962 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan akan melaksanakan unsur-unsur syariat itu juga di usulkan untuk membentuk sebuah majelis. Usulan tersebut akhirnya terwujud dengan dibentuknya Majelis Ulama pada tahun 1966.[19]
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
5.      Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.








BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian secara singkat dari pembahasan masalah ini, penulis sedikit dapat menyimpulkan beberapa hal antara lain: perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ada dan berdiri. Penerapan hukum Islam berkembang pesat pada masa itu. Namun, setelah Belanda datang, posisi hukum Islam tidak mengalami kemajuannya karena diskriminasi dari Belanda. Hal itupun terjadi hingga Orde Baru. Memang ada sedikit upaya dari umat muslim untuk mengupayakan pemakaian hukum Islam bagi rakyat Indonesia.
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.



[1] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan. (jakarta:Globalmedia, 2004). Hal. 54
[2] Roibin M. Hi, Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010). Hal. 131
[3] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 17
[4] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan. (jakarta:Globalmedia, 2004). Hal. 55
[5] Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2005). Hal. 18
[6] Roibin, Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010). Hal. 132-133
[7] Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2005). Hal. 19
[8] Marzuki wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara. (Yogyakarta: Lkis, 2001).  Hal. 114
[9]M. Hi, Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010). Hal. 132
[10] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 29
[11] Marzuki wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara. (Yogyakarta: Lkis, 2001).  Hal. 121
[12] ay4x.wordpress.com/kyai-abdurahman-wahid/foto-–-foto-para-ulama/syaikh-arsyad-al-banjari/
[13] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan. (jakarta:Globalmedia, 2004). Hal.55
[14] http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2165:legislasi-harmonisasi-hukum-islam&catid=11:opini&Itemid=8
[15] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 37-38
[16] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 40-41
[17] Ibid Hal. 86
[18] Ibid Hal. 108
[19] Ibid. Hal. 111-112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar