INTERELASI
SUKU JAWA DAN ISLAM
Interelasi
antara suku Jawa dan Islam mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga menjadi
daya tarik bagi para ilmuwan, terutama sejarawan untuk terus mengkaji hal ini.
Sejarah masuknya Islam di Jawa telah mengundang antusias yang tinggi dari
berbagai kalangan. Hubungan-hubungan yang telah terjalin antara suku Jawa dan
Islam, hinga saat ini terus menjadi bahan kajian para sejarawan Barat. Hubungan
antara keduanya dianggap memiliki keunikan tersendiri.
Sebelum pengaruh
Hinduisme datang, suku Jawa telah memegang kuat kepercayaan asli yang telah
mendarah daging, yakni kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme ialah suatu
kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan manusia. Dalam kepercayaan ini, semua yang bergerak dianggap hidup
dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki roh yang berwatak baik maupun buruk.[1] Dinamisme sendiri ialah suatu kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib
yang menempati setiap benda.[2] Kedua kepercayaan ini
telah menjadi budaya dan memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh
budaya-budaya asing yang lebih berkembang. Prof. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
mengatakan bahwa kebudayaan asli Indonesia yang telah menjalin hubungan dengan
kebudayaan-kebudayaan lain yang dianggap telah mengalami perkembangan, seperti
kebudayaan Hindu, Islam dan Barat, tidak mampu menghilangkan kebudayaan Jawa
asli dan justru menyerap unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam pola
keindonesiaan.[3]
Di Jawa,
penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya kejawen,
yakni lingkungan budaya istana yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan
lingkungan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam
bayang-bayang animisme-dinamisme. Dilihat dari sejarah Islamisasi di Jawa,
tampak bahwa Islam sulit diterima di lingkungan budaya Jawa istana. Dalam
cerita Babad Tanah Jawi dijelaskan bahwa raja Majapahit menolak Islam,
hingga para penyebar Islam lebih menekankan dakwanya di lingkungan pedesaan,
khususnya daerah-daerah pesisir pulau Jawa. Di lingkungan pedesaan inilah Islam
mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat.[4] Dari sini muncul
kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi pesaing kebudayaan intelektual di
lingkungan istana.
Lambat
laun, dari proses yang panjang, muncullah kerajaan Islam Demak dan Islam pun
mulai berkembang pesat di Jawa. Dari perkembangan ini muncul
interelasi-interelasi antara Jawa dan Islam dalam berbagai aspek. Adapun
interelasi-interelasi tersebut, yakni:
1. Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek
kepercayaan dan ritual
Setiap
agama tentu memiliki aspek fundamental, yakni kepercayaan atau keyakinan. Dalam
agama Islam, aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah akidah dan
keimanan, sehingga terdapatlah rukun iman yang di dalamnya terangkum hal-hal
yang harus dipercayai atau diimani oleh orang Islam. Dalam budaya Jawa
pra-Islam yang bersumber dari ajaran agama Hindu, terdapat kepercayaan tentang
adanya para dewa. Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan
(kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab
penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan), dan marga (jalan
kelepasan). Adapun pada agama asli, yakni agama orang Jawa sebelum kedatangan
agama Hindu maupun Budha, inti kepercayaannya adalah animisme dan dinamisme.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha, maupun kepercayaan dinamisme
dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam di Jawa berinterelasi
dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.[5] Bahkan, sampai saat ini kepercayaan
animisme dan dinamisme masih jelas terlihat. Hal ini dikarenakan kepercayaan
tersebut telah mengakar kuat sebagai budaya asli Indonesia, khususnya
masyarakat Jawa.[6]
Berkaitan dengan
sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan meng-Esa-kan Allah
itu sering menjadi tidak murni, karena tercampur dengan penuhanan terhadap
benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup.[7] Menurut kepercayaan animisme dan
dinamisme, dunia ini selain dihuni oleh makhluk hidup berwadah kasar seperti
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, juga dihuni oleh roh-roh halus dan
kekuatan-kekuatan gaib. Oleh karena itu, pusat kegiatan agama animisme dan
dinamisme adalah upacara-upacara untuk berhubungan langsung dengan roh-roh
halus dan kekuatan-kekuatan magis.
Dalam
tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Sebagai contoh
adalah jimat, seperti dalam bentuk cincin, batu akik, keris, ikat kepala, dan
lain sebagainya. Bukan hanya itu, barang-barang peninggalan para raja Jawa yang
diberi sebutan “kyai”, pada umumnya juga dipandang sebagai benda-benda keramat.
Begitu juga dengan kuburan-kuburan, hari-hari tertentu, dipandang memiliki
barokah atau sebaliknya. Bagi orang awam Jawa, benda-benda tersebut merupakan
penghubung atau wasilah dengan Allah. Oleh karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah
menjadi mantra. Ayat-ayat suci Al-Quran atau huruf-huruf Arab diyakini memiliki
nilai yang sangat berarti, bukan karena makna yang terkandung di dalam ayat
tersebut, melainkan dari daya gaibnya. Al-Quran tidak dibaca, dipahami, dan
dihayati arti dan maknanya, melainkan digunakan sebagai jimat.[8]
Kaitannya dengan takdir, budaya Jawa lebih condong
kepada teologi Jabariyah. Dalam teologi tersebut terdapat kecenderungan
untuk lebih bersikap pasrah, sumarah lan narima ing pandum terhadap
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Meskipun demikian, mereka
mempunyai peluang untuk berikhtiar dengan kemampuan yang dimiliki, setidaknya
dengan berdoa kepada-Nya. Selain itu, terdapat pula upaya-upaya ikhtiar yang
lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan primitif maupun
yang bersumber dari agama Hindu. Mereka beranggapan tempat-tempat yang baik,
hari, bulan serta tahun yang membawa nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan
dengan cara magis. Hari-hari yang jelek sering disebut dengan na’as.
Pada hari ini sebaiknya orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan seperti
perayaan pesta pernikahan, melakukan perjalanan jauh, transaksi dagang, dan
lain sebagainya. Perhitungan-perhitungan magis dengan melihat neptu dari
hari dan pasaran menurut rumus-rumus tertentu sangat menolong untuk mencari dan
menentukan hari baik, bulan baik, serta menghindari hari-hari na’as.
Akan tetapi, jika hari na’as itu tidak dapat dihindari, maka perlu
diadakan upacara-upacara tertentu yang disertai dengan doa-doa untuk menangkal
akibat negatif yang ditimbulkan oleh hari na’as tersebut. Hal ini
seperti upacara-upacara dalam agama Hindu. Sedangkan doa-doa yang digunakan
merupakan ajaran dalam agama Islam. Disadari atau tidak, baik upacara maupun
doa tersebut telah bercampur dan menjadi tradisi di kalangan orang Islam Jawa.[9]
Menurut keyakinan Islam, ruh orang yang sudah
meninggal dunia tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah.
Kepercayaan tersebut mewarnai pemikiran orang Jawa. Hanya saja, menurut orang
Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia
berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di
makam atau pasarean. Di sisi lain, atas dasar kepercayaan Islam, bahwa
orang meninggal dunia perlu dikirim doa. Maka muncullah tradisi Jawa kirim donga,
tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun (mendhak),
dan seribu hari (nyewu) setelah seseorang meninggal dunia. Doa kepada orang
yang meninggal dunia merupakan anjuran menurut ajaran Islam, sedangkan
penentuan hari-hari sebagai saat pelaksanaan upacara kirim donga lebih
diwarnai oleh warisan budaya Jawa pra-Islam.[10]
Keyakinan tentang adanya rasul dan nabi, seperti
yang terdapat dalam rukun iman, juga telah mempengaruhi keyakinan lama orang
Jawa. Beberapa nama nabi dikaitkan dengan doa-doa tertentu yang dianggap
memiliki nilai-nilai khusus serta dikaitkan dengan kepercayan orang Jawa
tentang na’as.[11]
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk
melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu, yakni kegiatan yang meliputi
berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam. Aspek doa
dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam berbagai bentuk upacara
tradisional orang Jawa.[12]
Bagi orang
Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan
dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir,
kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga
upacara-upacara yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari dalam
mencari nafkah dan upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal
seperti meresmikan rumah tinggal, membangun gedung untuk berbagai keperluan,
dan lain sebagainya.[13]
Berkaitan
dengan lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara, antara lain:
a. Upacara tingkeban atau mitoni,
dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu.[14] Upacara ini biasanya disertai dengan
membuat apem contongan, nasi tumpeng dengan janganan sebanyak tujuh
takir dan tiap-tiap takir diberi telur rebus sebutir, serta membuat rujak tujuh takir dengan tujuh macam buah, yakni
kedondong, mentimun, pace, blimbing, bengkoang, mangga muda dan jambu mete.[15]
b. Upacara kelahiran, dilakukan pada saat
anak diberi nama dan pemotongan rambut saat bayi berumur tujuh hari atau sepasar.
Upacara ini sering disebut dengan slametan nyepasari. Dalam tradisi
Islam, upacara ini disebut dengan aqiqah yang diucapkan dalam lidah Jawa kekah.[16] Dalam upacara ini, biasanya orang Jawa
membuat jenang merah putih, nasi tumpeng, jajanan pasar lengkap dan lain-lain.[17]
c. Upacara sunatan, dilakukan pada
saat anak laki-laki dikhitan. Pelaksanaan khitan ini sebagai bentuk perwujudan
secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Sunatan atau khitanan ini
merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam. Oleh karena itu, sunatan
seringkali disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelamaken,
yang mengandung makna mengislamkan (ngislamaken).[18]
d. Upacara perkawinan, dilakukan pada saat
pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Slametan yang
dilakukan berkaitan dengan upacara ini sering dilaksanakan dalam beberapa
tahap, yakni tahap sebelum aqad nikah, seperti panggih atau temu yang
biasanya dilakukan saat berdekatan dengan aqad nikah,[19] tahap aqad nikah itu sendiri dan tahap
sesudah aqad nikah atau ngunduh manten[20], yakni dilakukan setelah lima hari setelah
pernikahan dengan cara kedua pengantin tersebut diminta oleh keluarga pengantin
laki-laki.[21]
e. Upacara kematian. Setelah diadakan upacara
kematian, terdapat beberapa slametan yang dikhususkan untuk orang yang telah
meninggal dunia,[22] seperti slametan mitung dina (tujuh
hari), slametan matang puluh (empat puluh hari), slametan nyatus (seratus
hari), slametan mendak sepisan (satu tahun), mendak pindo (dua
tahun) dan nyewu (seribu hari).[23] Rangkaian upacara-upacara ini merupakan
gabungan pembacaan doa secara Islam dan sejumlah upacara yang terkait dengan
tradisi pra-Islam.
Sementara
itu, terdapat jenis upacara tahunan, seperti muludan (perayaan hari
lahir Nabi Muhammad),[24] rejeban atau mi’radan, nisfu sa’ban, riyaya atau riyadin, kupatan
atau syawalan dan lain-lain.[25]
- Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek sastra
Dalam aspek
sastra, suku Jawa dan Islam melahirkan dua jenis sastra Jawa, yakni sastra Jawa
pesantren dan sastra Islam kejawen. Dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan
sastra Jawa dijadikan wadah untuk memperkenalkan ajaran Islam. Dalam sastra
Islam kejawen, unsur-unsur sufisme dan ajaran budi luhurnya diserap oleh para
sastrawan Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu.
Pertumbuhan
sastra Jawa pesantren tidak sesubur sastra Islam kejawen. Hal ini disebabkan,
yang berkembang di Jawa adalah paham
sufisme ortodoks al-Ghazali, sehingga pengkajiannya terbatas pada ilmu-ilmu
yang telah ada. Selain itu, para priyayi Jawa memiliki wawasan yang lebih
terbuka, dinamis dan mampu menyerap unsur-unsur budaya asing. Mereka sangat
terbuka dalam menghadapi budaya Hindu, budaya Islam dan budaya Barat
dibandingkan para santri.
Terdapat banyak
sastra Jawa yang bergaya pesantrenan, di antaranya Het Boek van Bonang, terjemah
dari Tuhfah Mursalah Ila Ruh al-Nabi yang menjadi serat Tuhfah
bersekar macapat.[26] Karya ini dianggap
sebagai tulisan Sunan Bonang atas dasar informasi sebuah tulisan “tamat canitra,
kang pakreti Pangeran ing Bonang” yang ada di bagian kolofon. Namun, pandangan
ini dianggap keliru oleh Drewes karena tlisan pada kolofon tersebut mungkin
saja ditulis oleh penyalin naskah yang belum tentu Sunan Bonang sendiri.[27]
- Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek pewayangan
Interelasi suku
Jawa dan Islam dalam aspek pewayangan merupakan salah satu bagian yang khas
dari proses perkembangan budaya di Jawa. Pengertian budaya menurut Ki Narto
Sabdo adalah angen-angen kang ambahar keindahan. Wayang merupakan suatu
produk budaya manusia yang di dalamnya terkandung seni estetis. Wayang
berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan kehidupan. Esensi budaya Jawa dapat
dirumuskan dalam satu kata “wayang”. Hal ini seolah-olah menjadi dalil
bagi para pakar budaya Jawa. Mempelajari dan memahami wayang merupakan syarat
yang tan keno ora atau condotio sine quanon (tidak bisa tidak)
untuk menyelami budaya Jawa. Bagi masyarakat Jawa, wayang bukanlah sekedar
hiburan melainkan juga sebagai media pendidikan dan media dakwah. Baik etos
maupun pandangan hidup Jawa, tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang.
Antara
wayang dan budaya Jawa, ibarat sekeping uang logam yang tidak terpisahkan. Hal
ini dapat dilihat dari bagian rumah adat Jawa yang terdiri dari emper, pendopo,
pringitan, omah mburi, senthong, longkang, dan pawon. Dalam
membangun rumah, orang Jawa sudah berniat untuk menyediakan tempat khusus bagi
penyelenggaraan wayang.[28]
Dewasa ini,
nama-nama yang ada dalam pewayangan sama sekali tidak terdapat dalam kisah
Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sumber cerita pewayangan asli. Hal ini
pernah diungkapkan oleh Prof. K.MA Machfoel bahwa nama Semar, Nala Gareng,
Petruk, Bagong merupakan hasil kreasi Wali Sanget Tinelon untuk
memperagakan serta mengabdikan fungsi watak, tugas konsepsional Walisongo dan
para mubaligh Islam. Semar berasal dari kata bahasa Arab ismar yang
berarti paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah. Nala Gareng berasal
dari kata bahasa Arab Naala Qariin yang berarti memperoleh banyak teman.
Petruk berasal dari kata bahasa Arab Fatruk yang merupakan kata
pangkal dari sebuah wejangan tasawuf tinggi “Fatruk kulla maa siwallahi”, tinggalkan
apapun selain Allah, sedangkan nama Bagong berasal dari kata Baghaa
yang berarti berontak, maksudnya berontak terhadap kebatilan atau kemungkaran.[29]
Interelasi
antara suku Jawa dan Islam merupakan suatu momentum yang sangat berharga bagi
perkembangan khasanah budaya Jawa. Tidak sedikit sumbangan Islam untuk
perkembangan budaya Jawa, baik berupa pemikiran maupun yang lainnya.
- Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek pendidikan
Awalnya,
sebelum Islam masuk ke pulau Jawa, para priyayi Jawa aktif menyerap unsur-unsur
intelektual Budha. Namun, setelah Islam masuk ke pulau Jawa, para penyebar
Islam, yakni para wali, memberikan sumbangan yang besar dalam aspek pendidikan.
Dakwah dan pengajian menjadi tradisi dalam penyebaran agama Islam. Dari proses
dakwah dan pengajian inilah muncul masjid-masjid atau mushala-mushala yang
kemudian akan berkembang menjadi pesantren untuk mendidik para santrinya.
Memang sistem pendidikan pesantren sangat sederhana, namun sistem ini merupakan
pendidikan masyarakat tradisional yang besar peranannya hingga dewasa ini.[30] Sistem pendidikan
pesantren jauh berbeda dengan pendidikan moderen yang bersifat analitik. Sistem
kajian analitik adalah menganalisis kelemahan dan kekuatan isi ajaran kitab
untuk menciptakan mujtahid. Dalam pendidikan pesantren tradisional, ukuran
kemajuan seorang santri adalah keberhasilannya mempelajari kitab tertentu hingga
tamat. Sebelum muncul sistem pendidikan Barat, sistem pesantren ini menjadi
satu-satunya model pendidikan masyarakat yang paling merakyat di Jawa.
Sistem
pesantren menjadikan daerah pedesaan dan pesisir yang dulunya buta huruf
menjadi masyarakat baru yang berpendidikan. Budaya intelektual pesantren ini
bukan hanya sekedar menjadi subkultur, tetapi telah menandingi budaya keraton
yang bersifat hinduistik. Perkembangan budaya intelektual pesantren ini juga
yang akhirnya melahirkan kerajaan-kerajaan Jawa-Islam pesisir, seperti kerajaan Demak, Mataram-Islam, Banten, Pajang
dan lain sebagainya.
- Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek arsitektur
Sebelum
Islam masuk ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan
karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli suku maupun yang telah
dipengaruhi oleh Hindu-Budha. Karya seni yang telah dihasilkan oleh masyarakat
Jawa sebelum masa Islam, ialah candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah
joglo, relief pada bangunan gapura, tata ruang desa yang memiliki konsep macapat,
hiasan tokoh wayang pada rumah, padepokan dan lain-lain. Oleh karena itu,
ketika Islam masuk ke tanah Jawa, keberadaan arsitektur Jawa yang telah
berkembang dalam konsep dan filosofi Jawa tidak dapat dinafikkan oleh Islam.
Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama masyarakat Jawa, maka
simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian
memunculkan kreatifitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan
sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya
arsitektur.[31]
Di pulau
Jawa dapat ditemukan bangunan menara masjid Kudus yang di bangun oleh Sunan
Kudus dengan ciri yang khusus dan tidak didapatkan pada bentuk bangunan masjid
di mana pun, yakni dengan bentuk bangunan menara yang mirip dengan meru pada
bangunan Hindu, lawang kembar pada bangunan utama masjid dan pintu
gapura serta pagar yang mengelilingi halaman masjid yang kesemuannya bercorak
bangunan Hindu dalam bentuk susunan bata merah tanpa perekat yang mengingatkan
pada bentuk bangunan kori pada kedhaton di komplek kerajaan Hindu.
Bentuk
bangunan menara masjid Kudus seperti itu dimaksudkan untuk menarik simpati
masyarakat Hindu pada waktu itu untuk memeluk Islam. Bentuk bangunan masjid
dengan model atap tingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang keislaman
seseorang yang ditopang oleh tiga aspek, yakni Islam, Ihsan dan Iman.[32]
- Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek ekonomi
Secara
sederhana, ekonomi diartikan sebagai kegiatan manusia atau masyarakat untuk
mempergunakan unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya, guna maksud memenuhi
berbagai rupa kebutuhan. Oleh karena itu, proses ekonomi meliputi proses
produksi barang dan jasa, penukarannya dan pembagiannya, antara
golongan-golongan masyarakat dan pemakainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
masyarakat Jawa, prinsip ekonomi dapat dijumpai dalam istilah-istilah atau
konsep-konsep seperti cucuk, pakoleh, ngirit, guthuk, lumayan dan
lain-lain.[33]
Sumber perekonomian sebagian besar masyarakat suku Jawa ialah dari hasil
pertanian, sedangkan sebagian yang lain berasal dari perdagangan, pertukangan,
pekerjaan-pekerjaan kepegawaian dan lain-lain.[34] Interelasi antara suku
Jawa dan Islam lebih nampak pada perdagangan. Hal ini dikarenakan para penyebar
Islam yang sebagian besar adalah seorang pedagang.
Masyarakat Jawa mempercayai ramalan-ramalan
seperti cocok tidaknya seseorang berprofesi di bidang tertentu. Mereka juga memiliki
kebiasaan membuat sesajen pada benda-benda tertentu sebelum memulai menanam
maupun sebelum panen.
PENUTUP
Uraian
tentang interelasi-interelasi antara suku Jawa dan Islam dalam berbagai aspek
di atas, menunjukkan secara jelas bahwa telah terjadi suatu upaya untuk
mengakomodasikan dalam keberagamaan orang Jawa, antara nilai-nilai Islam dengan
budaya Jawa pra-Islam. Upaya itu telah dilakukan sejak Islam mulai disebarkan
oleh para wali dan dilanjutkan oleh para pujangga kraton, serta dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa Islam. Upaya itu terus berproses hingga
saat ini. Sebagian dari nilai-nilai Islam telah menjadi bagian dari budaya
Jawa. Akan tetapi, warisan nilai-nilai budaya pra-Islam masih tetap tampak,
meski dalam wadah yang kelihatannya Islami.
Dilihat dari segi agama Islam,
interelasi-interelasi ini dapat dikatakan telah terjadi sinkretis antara suku
Jawa dan Islam.[35]
Namun, dari segi suku Jawa sendiri menganggap interelasi yang tercipta antara
suku Jawa dan Islam bukanlah sinkretis, melainkan keunikan.
[2] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2000), hlm. 122-123
[5] M. Darori Amin (Ed), Islam dan
Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 122
[6] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju,
2003), hlm. 39-40
[7] M. Darori Amin (Ed),
Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 124
[8] Ibid., hlm. 124-125
[15] Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara Islam dengan
Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm. 19
[16] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2000), hlm. 132
[17] Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara Islam dengan
Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm. 36
[18] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2000), hlm. 132-133
[19] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan
Sejarah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 430
[20]M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2000), hlm. 133
[21]Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara Islam dengan
Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm.140
[22]M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2000), hlm. 133
[23] Muhammad Ali Akbar Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara
Islam dengan Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm.
169-170
[24] G. F. Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam DI Indonesia
1900-1950, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 87
[25] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media, 2000), hlm. 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar