Selamat Datang Kawan di Blog SPI B

Kamis, 19 April 2012

Interalisasi Suku Jawa Dan Islam

INTERELASI SUKU JAWA DAN ISLAM

Interelasi antara suku Jawa dan Islam mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga menjadi daya tarik bagi para ilmuwan, terutama sejarawan untuk terus mengkaji hal ini. Sejarah masuknya Islam di Jawa telah mengundang antusias yang tinggi dari berbagai kalangan. Hubungan-hubungan yang telah terjalin antara suku Jawa dan Islam, hinga saat ini terus menjadi bahan kajian para sejarawan Barat. Hubungan antara keduanya dianggap memiliki keunikan tersendiri.
Sebelum pengaruh Hinduisme datang, suku Jawa telah memegang kuat kepercayaan asli yang telah mendarah daging, yakni kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme ialah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Dalam kepercayaan ini, semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki roh yang berwatak baik maupun buruk.[1] Dinamisme sendiri ialah  suatu kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib yang menempati setiap benda.[2] Kedua kepercayaan ini telah menjadi budaya dan memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh budaya-budaya asing yang lebih berkembang. Prof. R.M. Sutjipto Wirjosuparto mengatakan bahwa kebudayaan asli Indonesia yang telah menjalin hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang dianggap telah mengalami perkembangan, seperti kebudayaan Hindu, Islam dan Barat, tidak mampu menghilangkan kebudayaan Jawa asli dan justru menyerap unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam pola keindonesiaan.[3]
Di Jawa, penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya kejawen, yakni lingkungan budaya istana yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan lingkungan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme. Dilihat dari sejarah Islamisasi di Jawa, tampak bahwa Islam sulit diterima di lingkungan budaya Jawa istana. Dalam cerita Babad Tanah Jawi dijelaskan bahwa raja Majapahit menolak Islam, hingga para penyebar Islam lebih menekankan dakwanya di lingkungan pedesaan, khususnya daerah-daerah pesisir pulau Jawa. Di lingkungan pedesaan inilah Islam mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat.[4] Dari sini muncul kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi pesaing kebudayaan intelektual di lingkungan istana.
Lambat laun, dari proses yang panjang, muncullah kerajaan Islam Demak dan Islam pun mulai berkembang pesat di Jawa. Dari perkembangan ini muncul interelasi-interelasi antara Jawa dan Islam dalam berbagai aspek. Adapun interelasi-interelasi tersebut, yakni:

1.      Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual
Setiap agama tentu memiliki aspek fundamental, yakni kepercayaan atau keyakinan. Dalam agama Islam, aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah akidah dan keimanan, sehingga terdapatlah rukun iman yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh orang Islam. Dalam budaya Jawa pra-Islam yang bersumber dari ajaran agama Hindu, terdapat kepercayaan tentang adanya para dewa. Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan), dan marga (jalan kelepasan). Adapun pada agama asli, yakni agama orang Jawa sebelum kedatangan agama Hindu maupun Budha, inti kepercayaannya adalah animisme dan dinamisme. Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam di Jawa berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.[5] Bahkan, sampai saat ini kepercayaan animisme dan dinamisme masih jelas terlihat. Hal ini dikarenakan kepercayaan tersebut telah mengakar kuat sebagai budaya asli Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.[6]
Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan meng-Esa-kan Allah itu sering menjadi tidak murni, karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup.[7] Menurut kepercayaan animisme dan dinamisme, dunia ini selain dihuni oleh makhluk hidup berwadah kasar seperti manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, juga dihuni oleh roh-roh halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Oleh karena itu, pusat kegiatan agama animisme dan dinamisme adalah upacara-upacara untuk berhubungan langsung dengan roh-roh halus dan kekuatan-kekuatan magis.
Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Sebagai contoh adalah jimat, seperti dalam bentuk cincin, batu akik, keris, ikat kepala, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, barang-barang peninggalan para raja Jawa yang diberi sebutan “kyai”, pada umumnya juga dipandang sebagai benda-benda keramat. Begitu juga dengan kuburan-kuburan, hari-hari tertentu, dipandang memiliki barokah atau sebaliknya. Bagi orang awam Jawa, benda-benda tersebut merupakan penghubung atau wasilah dengan Allah. Oleh karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantra. Ayat-ayat suci Al-Quran atau huruf-huruf Arab diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan karena makna yang terkandung di dalam ayat tersebut, melainkan dari daya gaibnya. Al-Quran tidak dibaca, dipahami, dan dihayati arti dan maknanya, melainkan digunakan sebagai jimat.[8]
Kaitannya dengan takdir, budaya Jawa lebih condong kepada teologi Jabariyah. Dalam teologi tersebut terdapat kecenderungan untuk lebih bersikap pasrah, sumarah lan narima ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Meskipun demikian, mereka mempunyai peluang untuk berikhtiar dengan kemampuan yang dimiliki, setidaknya dengan berdoa kepada-Nya. Selain itu, terdapat pula upaya-upaya ikhtiar yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan primitif maupun yang bersumber dari agama Hindu. Mereka beranggapan tempat-tempat yang baik, hari, bulan serta tahun yang membawa nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan dengan cara magis. Hari-hari yang jelek sering disebut dengan na’as. Pada hari ini sebaiknya orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan seperti perayaan pesta pernikahan, melakukan perjalanan jauh, transaksi dagang, dan lain sebagainya. Perhitungan-perhitungan magis dengan melihat neptu dari hari dan pasaran menurut rumus-rumus tertentu sangat menolong untuk mencari dan menentukan hari baik, bulan baik, serta menghindari hari-hari na’as. Akan tetapi, jika hari na’as itu tidak dapat dihindari, maka perlu diadakan upacara-upacara tertentu yang disertai dengan doa-doa untuk menangkal akibat negatif yang ditimbulkan oleh hari na’as tersebut. Hal ini seperti upacara-upacara dalam agama Hindu. Sedangkan doa-doa yang digunakan merupakan ajaran dalam agama Islam. Disadari atau tidak, baik upacara maupun doa tersebut telah bercampur dan menjadi tradisi di kalangan orang Islam Jawa.[9]
Menurut keyakinan Islam, ruh orang yang sudah meninggal dunia tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah. Kepercayaan tersebut mewarnai pemikiran orang Jawa. Hanya saja, menurut orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam atau pasarean. Di sisi lain, atas dasar kepercayaan Islam, bahwa orang meninggal dunia perlu dikirim doa. Maka muncullah tradisi Jawa kirim donga, tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun (mendhak), dan seribu hari (nyewu) setelah seseorang meninggal dunia. Doa kepada orang yang meninggal dunia merupakan anjuran menurut ajaran Islam, sedangkan penentuan hari-hari sebagai saat pelaksanaan upacara kirim donga lebih diwarnai oleh warisan budaya Jawa pra-Islam.[10]
Keyakinan tentang adanya rasul dan nabi, seperti yang terdapat dalam rukun iman, juga telah mempengaruhi keyakinan lama orang Jawa. Beberapa nama nabi dikaitkan dengan doa-doa tertentu yang dianggap memiliki nilai-nilai khusus serta dikaitkan dengan kepercayan orang Jawa tentang na’as.[11]
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu, yakni kegiatan yang meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam. Aspek doa dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.[12]
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah dan upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal seperti meresmikan rumah tinggal, membangun gedung untuk berbagai keperluan, dan lain sebagainya.[13]
Berkaitan dengan lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara, antara lain:
a.       Upacara tingkeban atau mitoni, dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu.[14] Upacara ini biasanya disertai dengan membuat apem contongan, nasi tumpeng dengan janganan sebanyak tujuh takir dan tiap-tiap takir diberi telur rebus sebutir, serta membuat rujak  tujuh takir dengan tujuh macam buah, yakni kedondong, mentimun, pace, blimbing, bengkoang, mangga muda dan jambu mete.[15]
b.      Upacara kelahiran, dilakukan pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut saat bayi berumur tujuh hari atau sepasar. Upacara ini sering disebut dengan slametan nyepasari. Dalam tradisi Islam, upacara ini disebut dengan  aqiqah yang diucapkan dalam lidah Jawa kekah.[16] Dalam upacara ini, biasanya orang Jawa membuat jenang merah putih, nasi tumpeng, jajanan pasar lengkap dan lain-lain.[17]
c.       Upacara sunatan, dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Pelaksanaan khitan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam. Oleh karena itu, sunatan seringkali disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelamaken, yang mengandung makna mengislamkan (ngislamaken).[18]
d.      Upacara perkawinan, dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Slametan yang dilakukan berkaitan dengan upacara ini sering dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni tahap sebelum aqad nikah, seperti panggih atau temu yang biasanya dilakukan saat berdekatan dengan aqad nikah,[19] tahap aqad nikah itu sendiri dan tahap sesudah aqad nikah atau ngunduh manten[20], yakni dilakukan setelah lima hari setelah pernikahan dengan cara kedua pengantin tersebut diminta oleh keluarga pengantin laki-laki.[21]
e.       Upacara kematian. Setelah diadakan upacara kematian, terdapat beberapa slametan yang dikhususkan untuk orang yang telah meninggal dunia,[22] seperti slametan mitung dina (tujuh hari), slametan matang puluh (empat puluh hari), slametan nyatus (seratus hari), slametan mendak sepisan (satu tahun), mendak pindo (dua tahun) dan nyewu (seribu hari).[23] Rangkaian upacara-upacara ini merupakan gabungan pembacaan doa secara Islam dan sejumlah upacara yang terkait dengan tradisi pra-Islam. 
Sementara itu, terdapat jenis upacara tahunan, seperti muludan (perayaan hari lahir Nabi Muhammad),[24] rejeban atau mi’radan, nisfu sa’ban, riyaya atau riyadin, kupatan atau syawalan dan lain-lain.[25]
  1. Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek sastra
Dalam aspek sastra, suku Jawa dan Islam melahirkan dua jenis sastra Jawa, yakni sastra Jawa pesantren dan sastra Islam kejawen. Dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra Jawa dijadikan wadah untuk memperkenalkan ajaran Islam. Dalam sastra Islam kejawen, unsur-unsur sufisme dan ajaran budi luhurnya diserap oleh para sastrawan Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu.
Pertumbuhan sastra Jawa pesantren tidak sesubur sastra Islam kejawen. Hal ini disebabkan, yang berkembang di Jawa adalah  paham sufisme ortodoks al-Ghazali, sehingga pengkajiannya terbatas pada ilmu-ilmu yang telah ada. Selain itu, para priyayi Jawa memiliki wawasan yang lebih terbuka, dinamis dan mampu menyerap unsur-unsur budaya asing. Mereka sangat terbuka dalam menghadapi budaya Hindu, budaya Islam dan budaya Barat dibandingkan para santri.
Terdapat banyak sastra Jawa yang bergaya pesantrenan, di antaranya Het Boek van Bonang, terjemah dari Tuhfah Mursalah Ila Ruh al-Nabi yang menjadi serat Tuhfah bersekar macapat.[26] Karya ini dianggap sebagai tulisan Sunan Bonang atas dasar informasi sebuah tulisan “tamat canitra, kang pakreti Pangeran ing Bonang” yang ada di bagian kolofon. Namun, pandangan ini dianggap keliru oleh Drewes karena tlisan pada kolofon tersebut mungkin saja ditulis oleh penyalin naskah yang belum tentu Sunan Bonang sendiri.[27]   
  1. Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek pewayangan
Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek pewayangan merupakan salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya di Jawa. Pengertian budaya menurut Ki Narto Sabdo adalah angen-angen kang ambahar keindahan. Wayang merupakan suatu produk budaya manusia yang di dalamnya terkandung seni estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan kehidupan. Esensi budaya Jawa dapat dirumuskan dalam satu kata “wayang”. Hal ini seolah-olah menjadi dalil bagi para pakar budaya Jawa. Mempelajari dan memahami wayang merupakan syarat yang tan keno ora atau condotio sine quanon (tidak bisa tidak) untuk menyelami budaya Jawa. Bagi masyarakat Jawa, wayang bukanlah sekedar hiburan melainkan juga sebagai media pendidikan dan media dakwah. Baik etos maupun pandangan hidup Jawa, tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang.
Antara wayang dan budaya Jawa, ibarat sekeping uang logam yang tidak terpisahkan. Hal ini dapat dilihat dari bagian rumah adat Jawa yang terdiri dari emper, pendopo, pringitan, omah mburi, senthong, longkang, dan pawon. Dalam membangun rumah, orang Jawa sudah berniat untuk menyediakan tempat khusus bagi penyelenggaraan wayang.[28]
Dewasa ini, nama-nama yang ada dalam pewayangan sama sekali tidak terdapat dalam kisah Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sumber cerita pewayangan asli. Hal ini pernah diungkapkan oleh Prof. K.MA Machfoel bahwa nama Semar, Nala Gareng, Petruk, Bagong merupakan hasil kreasi Wali Sanget Tinelon untuk memperagakan serta mengabdikan fungsi watak, tugas konsepsional Walisongo dan para mubaligh Islam. Semar berasal dari kata bahasa Arab ismar yang berarti paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah. Nala Gareng berasal dari kata bahasa Arab Naala Qariin yang berarti memperoleh banyak teman. Petruk berasal dari kata bahasa Arab Fatruk yang merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan tasawuf tinggi “Fatruk kulla maa siwallahi”, tinggalkan apapun selain Allah, sedangkan nama Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak, maksudnya berontak terhadap kebatilan atau kemungkaran.[29]
Interelasi antara suku Jawa dan Islam merupakan suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan khasanah budaya Jawa. Tidak sedikit sumbangan Islam untuk perkembangan budaya Jawa, baik berupa pemikiran maupun yang lainnya.
       
  1. Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek pendidikan
Awalnya, sebelum Islam masuk ke pulau Jawa, para priyayi Jawa aktif menyerap unsur-unsur intelektual Budha. Namun, setelah Islam masuk ke pulau Jawa, para penyebar Islam, yakni para wali, memberikan sumbangan yang besar dalam aspek pendidikan. Dakwah dan pengajian menjadi tradisi dalam penyebaran agama Islam. Dari proses dakwah dan pengajian inilah muncul masjid-masjid atau mushala-mushala yang kemudian akan berkembang menjadi pesantren untuk mendidik para santrinya. Memang sistem pendidikan pesantren sangat sederhana, namun sistem ini merupakan pendidikan masyarakat tradisional yang besar peranannya hingga dewasa ini.[30] Sistem pendidikan pesantren jauh berbeda dengan pendidikan moderen yang bersifat analitik. Sistem kajian analitik adalah menganalisis kelemahan dan kekuatan isi ajaran kitab untuk menciptakan mujtahid. Dalam pendidikan pesantren tradisional, ukuran kemajuan seorang santri adalah keberhasilannya mempelajari kitab tertentu hingga tamat. Sebelum muncul sistem pendidikan Barat, sistem pesantren ini menjadi satu-satunya model pendidikan masyarakat yang paling merakyat di Jawa.
Sistem pesantren menjadikan daerah pedesaan dan pesisir yang dulunya buta huruf menjadi masyarakat baru yang berpendidikan. Budaya intelektual pesantren ini bukan hanya sekedar menjadi subkultur, tetapi telah menandingi budaya keraton yang bersifat hinduistik. Perkembangan budaya intelektual pesantren ini juga yang akhirnya melahirkan kerajaan-kerajaan Jawa-Islam pesisir, seperti  kerajaan Demak, Mataram-Islam, Banten, Pajang dan lain sebagainya.
  1. Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek arsitektur
Sebelum Islam masuk ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli suku maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu-Budha. Karya seni yang telah dihasilkan oleh masyarakat Jawa sebelum masa Islam, ialah candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada bangunan gapura, tata ruang desa yang memiliki konsep macapat, hiasan tokoh wayang pada rumah, padepokan dan lain-lain. Oleh karena itu, ketika Islam masuk ke tanah Jawa, keberadaan arsitektur Jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi Jawa tidak dapat dinafikkan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama masyarakat Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian memunculkan kreatifitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya arsitektur.[31]
Di pulau Jawa dapat ditemukan bangunan menara masjid Kudus yang di bangun oleh Sunan Kudus dengan ciri yang khusus dan tidak didapatkan pada bentuk bangunan masjid di mana pun, yakni dengan bentuk bangunan menara yang mirip dengan meru pada bangunan Hindu, lawang kembar pada bangunan utama masjid dan pintu gapura serta pagar yang mengelilingi halaman masjid yang kesemuannya bercorak bangunan Hindu dalam bentuk susunan bata merah tanpa perekat yang mengingatkan pada bentuk bangunan kori pada kedhaton di komplek kerajaan Hindu.
Bentuk bangunan menara masjid Kudus seperti itu dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat Hindu pada waktu itu untuk memeluk Islam. Bentuk bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek, yakni Islam, Ihsan dan Iman.[32]

  1. Interelasi suku Jawa dan Islam dalam aspek ekonomi
Secara sederhana, ekonomi diartikan sebagai kegiatan manusia atau masyarakat untuk mempergunakan unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya, guna maksud memenuhi berbagai rupa kebutuhan. Oleh karena itu, proses ekonomi meliputi proses produksi barang dan jasa, penukarannya dan pembagiannya, antara golongan-golongan masyarakat dan pemakainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam masyarakat Jawa, prinsip ekonomi dapat dijumpai dalam istilah-istilah atau konsep-konsep seperti cucuk, pakoleh, ngirit, guthuk, lumayan dan lain-lain.[33] Sumber perekonomian sebagian besar masyarakat suku Jawa ialah dari hasil pertanian, sedangkan sebagian yang lain berasal dari perdagangan, pertukangan, pekerjaan-pekerjaan kepegawaian dan lain-lain.[34] Interelasi antara suku Jawa dan Islam lebih nampak pada perdagangan. Hal ini dikarenakan para penyebar Islam yang sebagian besar adalah seorang pedagang.
 Masyarakat Jawa mempercayai ramalan-ramalan seperti cocok tidaknya seseorang berprofesi di bidang tertentu. Mereka juga memiliki kebiasaan membuat sesajen pada benda-benda tertentu sebelum memulai menanam maupun sebelum panen.

 




PENUTUP
Uraian tentang interelasi-interelasi antara suku Jawa dan Islam dalam berbagai aspek di atas, menunjukkan secara jelas bahwa telah terjadi suatu upaya untuk mengakomodasikan dalam keberagamaan orang Jawa, antara nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa pra-Islam. Upaya itu telah dilakukan sejak Islam mulai disebarkan oleh para wali dan dilanjutkan oleh para pujangga kraton, serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa Islam. Upaya itu terus berproses hingga saat ini. Sebagian dari nilai-nilai Islam telah menjadi bagian dari budaya Jawa. Akan tetapi, warisan nilai-nilai budaya pra-Islam masih tetap tampak, meski dalam wadah yang kelihatannya Islami.
Dilihat dari segi agama Islam, interelasi-interelasi ini dapat dikatakan telah terjadi sinkretis antara suku Jawa dan Islam.[35] Namun, dari segi suku Jawa sendiri menganggap interelasi yang tercipta antara suku Jawa dan Islam bukanlah sinkretis, melainkan keunikan.




[1] Ibid., hlm. 41
[2] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 122-123
[3] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 39-40

[4] Ibid., hlm. 41
[5] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 122
[6] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 39-40
[7] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 124
[8] Ibid., hlm. 124-125
[9]Ibid., hlm. 125-126
[10]Ibid., hlm. 127-128
[11]Ibid., hlm. 128
[12]Ibid., hlm. 130
[13]Ibid., hlm. 131
[14] Ibid., hlm. 132
[15] Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara Islam dengan Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm. 19
[16] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 132
[17] Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara Islam dengan Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm. 36

[18] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 132-133
[19] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 430
[20]M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 133
[21]Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara Islam dengan Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm.140
[22]M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 133
[23] Muhammad Ali Akbar Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup secara Islam dengan Tradisi di Pulau Jawa, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), hlm. 169-170
[24] G. F. Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam DI Indonesia 1900-1950, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 87
[25] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 135
[26] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 42
[27] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 163
[28] Ibid., hlm. 172
[29] Ibid., hlm. 180
[30] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju, 2003), hlm 44
[31] Ibid., hlm. 46
[32] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 189
[33] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 42

[34] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 334
[35] M. Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar