Selamat Datang Kawan di Blog SPI B

Minggu, 22 April 2012

Langkah-langkah Penelitian Hadits dan Pengaplikasiannya


Langkah-langkah Penelitian Hadits dan Pengaplikasiannya


A.    Pendahuluan
       Sebagaimana halnya al-Qur’an, al-hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap al-hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini dikarenakan perbedaan dari segi datangnya al-Qur’an dan hadits. Kedatangan (wurud),atau turun (nuzul)nya al-Qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah SWT. Sedangkan Hadits dari segi datang (al-wurud)nya tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadits yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian tarhadap penulisan hadis pada zaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya dan juga karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.

       Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan dibahas tentang langkah-langkah penelitian hadits beserta cara mengaplikasikannya.

B.     Tahap Penelitian Hadits
       Langkah awal penelitian hadits ialah at-takhrijul hadits, menurut pengertian asal bahasanya ialah berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu. Kata lain dari at-takhrij ialah al-istinbat (mengeluarkan), at-tadrib (melatih), dan at-taujih (memperhadapkan). Metode yang dipakai dalam at-takhrij ada dua yaitu takhrijul hadits bil-lafdz dan at-takhrijul hadits bil-maudhu’. Adapun takhrijul hadits bil lafdz berdasarkan lafalnya dan takhrijul hadits bil-maudhu’ berdasarkan topik masalahnya. Selain itu menurut Endang Soetari ada lima metode takhrij, yaitu:
  1. Takhrij dengan mengetahui rawi sahabat.
  2. Takhrij dengan mengetahui kalimat matan.
  3. Takhrij dengan mengetahui kalimat maudhu’ (tema).
  4. Takhrij dengan mengetahui keadaan rawi.
       Sedangkan menurut para tokoh metode yang dapat digunakan untuk meneliti hadits adalah:
  1. Meneliti hubungan hadits dengan dengan al-Qur’an beserta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir.
  2. Meneliti sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah SAW. Sampai terjadinya pemalsuan hadits dan usaha para ulama’ untuk membendungnya dengan melakukan pencatatan sunnah.
  3. Meneliti dengan cara membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadits.
     C. Model-model Penelitian Hadits
       Peredaran dan pengaruh kedua macam kitab yaitu kitab Sahih Bakhari (810-870)& Sahih Muslim (810-875) sangat luas, maka belakangan datang para peneliti yang selain menggunakan pendekatan perbandingan juga melakukan kritik. Ulama yang paling keras mengkritik Bukhari adalah al-Daruquthni, yang mengatakan bahwa tidak semua hadits yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim diterima oleh ulama secara sepakat. Hal tersebut tidak hanya datang pada Bukhari, melainkan datang juga kepada Muslim.
       Menurut hasil penelitian Jumhur Ulama, bahwa Sahih Bukhari lebih tinggi nilainya dari Sahih muslim dengan alasan:
1)Persyaratan yang dikemukakan Bukhari lebih ketat dibandingkan persyaratan yang dikemukakan Muslim.
2)Kenyataan menunjukan bahwa kritik terhadap Bukhari lebih sedikit dibandingkan kritik yang ditunjukan pada Imam Muslim.
3)Perawi hadis Bukhari yang dikritik adalah orang-orang yang diketahui keadaanya oleh Bukhari, atau Bukhari lebih kenal pada orang tersebut daripada orang yang mengkritiknya.

       Pada sisi lain ada yang menilai bahwa Shaih Muslim jauh lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang dimiliki Bukhari. Kelebihannya antara lain:
1)Sistematikanya lebih baik.
2)Dari segi redaksi, Muslim labih diterima daripada Bukhari, karena Muslim lebih banyak   meriwayatkan dengan lafadz, sedangkan Bukhari lebih banyak meriwayatkan dengan makna.
Berikut model-model penelitian:
1. Model H.M Quraish Shihab
       Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul membumikan al-Qur’an hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits yaitu mengenai hubungan hadits denagn al-Qur’an dan fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan penelitian beliau adalah kepustakaan dan bacaan sedangkan sifat penelitiannya bersifat analitis. Hasil penelitian beliau tentang fungsi hadits terhadap al-Qur’an menyatakan bahwa al-Qur’an yaitu menjelaskan maksud firman-firman Allah.
2. Model Mushtafa Al-Siba’iy
       Penelitian yang dilakukan Mustafa ak-Siba’iy bercorak eksfloratif dengan menggunakan pendekatan histories dan disajikan deskritif analitis. Hasil penelitian yang dilakukan beliau mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya pemalsuannya hadits.
3. Model Muhammad al-Ghazali
       Penelitian yang dilakukan Muhamad al-Gazali dari segi kandungan, termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut. Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Dalam hasil penelitiannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash, shalat tahiyat masjid, etika makan, minum, antara sarana dan tujuan dan masalah-masalah fiqih yang aktual lainnya.
4. Model Zain al-Diin ‘Abd al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy
       Dalam penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitian yang ditunjukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu. Buku yang pertama kali mengemukakan macam-macam hadis yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada yang tergolomg sahih, hasan, dhaif. Kemudin dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadis musnad, muttasil, marfu, maukuf, mursal, al-munqatil. Dilihat dari keadaan kualitas matannya dibagi menjadi hadits yang syadz dan munkar.
5. Model Penelitian Lainnya
       Pada model penelitian hadis ini yang diarahkan pada fokus aspek tertentu saja. Misalnya, Rifat Fauzi Abd al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan al-Sunah pada abad ke-2 Hijriah. Hasil penelitiannya itu dilaporkan dalam bukunya berjudul Tautsiq al-Sunnah fi al-Qurn al-Tsany al-Hijri Ususuhu wa Itijahat.Selanjutnya Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW. Sementara itu Mahmud Al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi hadis serta penentuan sanad. Ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan mengambil bahan-bahan pada hasil penelitian lainnya.  
     D. Penerapan Hadits
       Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Meskipun al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama, akan tetapi ada beberapa perkara yang sedikit sekali al-Qur’an membicarakannya atau al-Qur’an membicarakannya namun secara global saja, bahkan ada beberapa perkara yang tidak dibicarakan dan Hadits-lah jalan keluar untuk memperjelas dan memperinci ke-universalan al-Qur’an. Kedudukan hadits mendekati al-Qur’an, hadits memberi penjelasan terhadap kandungan al-Qur’an yang mujmal, memberi pengecualian terhadap yang ‘aam dalam al-Qur’an, membatasi kemutlakan pesan al-Qur’an, menguatkan kandungan al-Qur’an dan menetapkan hukum baru, di dalam hadits terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam al-Qur’an.
       Disinilah hadits diterapkan dan memiliki peran, yaitu memperjelas dan memperincikan kandungan isi al-Qur’an atau sebagai sumber hukum agama Islam yang kedua. Hal tersebut sudah disepakati para ulama’ dan seluruh umat Islam. Hal ini sudah dijelaskan dalam al-Qur’an al-‘Imran ayat 132, Allah berfirman:
132. Dan ta`atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
 Oleh karena itu seluruh umat Islam harus mengikuti hadits sebagaimana mengikuti al-Qur’an.
       Setelah mengetahui kedudukan, fungsi dan sebab hadits dijadikan sebagai sumber ajaran agama, maka kita selaku umat Islam harus mengaplikasikan atau menerapkan apa yang diperintahkan atau dilarang dalam Hadits Nabi SAW. Dengan mengikuti cara hidup rasul baik mengikuti perkataan, perbuatan ataupun ketetapan yang ditetapkan rasul berarti kita telah dapat menerapkan isi dari hadits dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh dari pengaplikasian Hadits dalam kehidupan sehari-hari diantaranya yaitu tata cara shalat. Tata cara shalat merupakan pengaplikasian hadits nabi “ Sholluu kamaa raaitumuunii usolli”. Sebab dalam Al-qur’an tidak dijelaskan bagaimana cara melaksanakan shalat. Dalam Al-qur’an hanya ada ayat yang memerintahkan untuk shalat tanpa diperinci dengan tata caranya. Selain itu contoh penerapan hadits dalam kehidupan sehari-hari yaitu shalat berjamaah. Shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada shalat sendirian (munfarid). Hal tersebut sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim “ Shalat berjamaah itu lebih utama nilainya daripada shalat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat”. Namun, perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya.

     E. Simpulan
       Kita selaku umat Islam yang berpedoman pada Al-qur’an dan Hadits wajib mengaplikasikan atau menerapkan hadits dalam kehidupan sehari-hari. Diantara contoh pengaplikasian hadits yaitu tata cara shalat. Tata cara shalat merupakan pengaplikasian Hadits nabi “Sholluu kamaa raaitumuunii usolli”. Sebab dalam Al-qur’an tidak dijelaskan bagaimana cara melaksanakan shalat. Dalam Al-qur’an hanya ada ayat yang memerintahkan untuk shalat tanpa diperinci dengan tata caranya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah, lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya.

    




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar