Selamat Datang Kawan di Blog SPI B

Senin, 30 April 2012

Islamisasi Asia Tenggara dan Pengaruh Islamisasi di Asia Tengggara


 Islamisasi di Asia Tengggara
Penyebaran islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia dan juga paling tidak jelas sumbernya. Secara umum ada dua proses yang mungkin telah terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia yang telah memeluk agama islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia .Ruang ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak abad 14 sampai abad ke19 yang menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana proses masuknya islam di Asia Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam, siapa yang membawa serta pengaruh yang dihasilkan akibat islamisasi tersebut. Banyak para ahli yang mengemukakan teori tentang kapan islam datang, dari mana asalnya, serta siapa pembawa islam tersebut. Berikut adalah beberapa teori yang di kemukakan oleh para ahli yang menjelaskan tentang darimana, siapa yang membawa, serta bukti yang ada tentang masuknya islam ke nusantara.
 Pijnappel mengemukakan bahwaasal islam adalah dari Gujarat/ Malabar, yang dibawa oleh Orang-orang yang bermadzhab syafi’i yang berimigarasi dan menetap di wilayah India. Snouck Hurgronje, menerangkan islam datang ke nusantara pada abad ke-12, yan berasal dari anak benua India, dan di bawa oleh Para pedagang yang sebagai perantara perdagangan Timur Tengah dengan nusantara datang ke dunia Melayu, kemudian di susul dengan orang-orang arab yang kebanyakan keturunan Nabi. Moquette, menerangkan bahwa islam berasal dari Gujarat, yang di bawa oleh Para pengimpor batu nisan dari gujarat dengan mengimpor batu nisan ini maka orang nusantara mengambil islam, dan dikuatkan dengan bukti berdasarkan penelitian bentuk batu nisan di pasai (sumatera utara), khususnya yang bertanggal 17 dzulhijjah 831 h/ 27 sepetember 1428 m. batu nisan yang ada di Pasai pada masa itu mirip dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat. Fatimi, berpendapat bahwa, islam berasal dari daerah Bengal, dengn bukti Batu nisan yang ada di Nusantara itu berbeda dengan batu nisan yang ada di gujarat melainkan sama dengan batu nisan yang ada di Bengal. Wintend, mengemukakan pendapat bahwa islam berasal dari Gujarat, yang dibawa oleh Pedagang muslim Gujarat, dengan bukti Batu Nisan yang di temukan mirip bentuk dan gayanya di bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, yang batu nisan tersebut semuanya di datangkan dari Gujarat. Marisson, mengatakan bahwa islam masuk ke nusantara pada abad ke-13, dan berasal dari pantai Coromandel, yang dibawa oleh para penyebar muslim dari pantai coromandel, pernyatan tersebut dikuatkan dengan bukti, Ketika Islamisasi di Samudera-Pasai berlangsung, di Gujarat, Cambay masih menganut agama Hindu-Budha. Baru pada tahun 1298 M Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Islam. Sedangkan raja pertama Pasai yang beragama Islam wafat pada tahun 1297. Jadi berselang satu tahun dari kematian raja Malikussaleh barulah Gujarat menganut agama Islam. Arnold, mengatakan bahwa islam datang pada abad 7 & 8, yang dibawa oleh Pedagang dari koromandel dan malabar dengan bukti Mayoritas musllim di Nusantarapengikut mazdhab Syafii, hal ini sama dengan muslim yang ada di Coromandel. Selain itu juga, Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Mereka diperkirakan tidak hanya berdagang melainkan juga menyebarkan agama Islam. Crawfud, mengatakan bahwa islam berasal dari Arabia, yang dibawa dengan cara Interaksi penduduk nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari pantai timur India. Dengan bukti Mayoritas pedagang Arab yang datang ke Nusantara melakukan perkawinan dengan wanita lokal/Nusantara sehingga membentuk kelompok muslim Arab dan lokal. Keijzer, berpendapat bahwa islam berasal dari negara Mesir, dengan bukti Adanya persamaan madzhab antara nusantara dan mesir yaitu madzhab syafi’i. Nieman de Holander, mengatakan bahwa islam berasal dari Hadramaut, akan tetapi disini Nieman, tidak menjelaskan  kapan serta pembawanya. Sejarawan yang terahir adalah A.H. Jhon  yang mengatakan bahwa islam datang pada abad ke 13 yang dibawa oleh para sufi atau pengembara.[1]

Disamping teori-teori diatas juga terdapat satu teori tentang motif ekonomi dalam islamisasi yang juga dikemukakan oleh Anthony Reid, tetapi untuk periode yang berbeda. Menurut Reid,islamisasi sangat meningkat ketika nusantara berada dalam”masa perdagangan” pada abad ke-15 sampai abad ke-17.[2]Teori-teori diatas belum bisa menyatakan secara pasti kapan dan darimana islam itu berasal, hal ini disebabkan karena kurangnya data pendukung untuk menguatkan teori tersebut, melainkan juga karena satu teori yang dikemukakan oleh para ulama cenderung hanya mempertimbangkan satu hala saja,sedangkan hal yang lain tidak. Oleh karena itu setiap teori nyaris gagal menangkap kompleksitas dan kerumitan proses konversi dan islamisasi, jadi tidaklah aneh jika satu teori tertentu tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan menantang yang diajukan oleh teori lain yang muncul sebagai teori tandingan.[3] Jadi dapat dikatakan bahwa ada empat hal yang ingin disampaikan historiogarafi tradisional lokal semacam itu tentang beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli diatas,yaitu.pertama, Islam di Nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab. Kedua,islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah professional,ketiga. Orang-orang yang pertama kali masuk islam adalah para penguasa.keempat, para guru profesional datang di nusantara pada abad ke 13 dan 14. Akan tetapi islamisasi tampaknyabaru mengalami penempatan khususnya selama abad ke-12 sampai abad ke-16.[4]
Disamping teori-teori serta bukti diatas juga terdapat beberapa bukti lain mengenai masuknya islam di Nusantara, bukti yang paling dipercaya mengenai penyebaran islam di masyarakat lokal Indonesia yaitu berupa prasasti-prasasti islam dan sejumlah catatan para musafir. Seperti batu nisan yang ditemukan di leran, Jawa timur, yang merupakn sebuah nisan seorang putri yang bernama Maimun.[5] Akan tetapi dengan adanya bukti tersebut belum bisa dipastikan kapan islam masuk ke masyarakat Jawa. seorang muslim Cina Ma Huan, mengunjungi daerah pesisir Jawa, ia melaporkan di dalam bukunya yang berjudul Peninjauan Umum Tentang Pantai-Pantai Samudra. Dia mengatakan terdpat 3 macam penduduk jawa yang pertama, orang-orang muslim dari barat, kedua,  orang Cina (yang sebagian beragama islam), ketiga, orang jawa yang menyembah berhala. Karena btu nisan trowulan dan troloyo menunjukan adanya orang-orang jawa yang beragama islam di istana kira-kira lima puluh tahun sebelum masa itu. Maka laporan Mahuan menegaskan bahwa agama islam memang sudah dianut oleh kalangan islam sebelum penduduk pesisir jawa mulai beralih keagama ini.[6]
            Pengislaman orang-orang Indonesia baru terjadi pada abad XIII, terutama pada abad XIV dan XV, pernyataan tersebut di dasarkan pada beberapa sumber primer dan sekunder, biasanya, berbentuk seperti legenda, yan mana penduduk Indonesia itu menceritakan kisah pengislaman mereka. Sumber cerita tersebut biasanya di himpun oleh arsip nasional sejak tahu 1970, yang sekarang banyak di terbitkan. Legenda tersebut berasal dari wawancara dengan tokoh atau rakyat setempat yang mengetahui sejarahnya.[7]  Semua legenda tersebut baru muncul lama sesudah kedatangan islam. Sumber primer yang digunakan disini antara lain yaitu: Hikayat raja-raja pasai, merupakan suatu naskah yang berbahasa melayu, legenda ini menceritakan tentang bagaiman islam masuk ke samudra pasai. Sejarah melayu, merupakan suatu naskah yang berbahasa melayu, yang berisi tentang masuk islamnya raja-raja malaka. Kedua naskah tersbut berbeda dengan legenda atau cerita mengenai islamisasi jawa yang telah dikenal sampai sekarang. Kalau naskah-naskah melayu memandang islamisasi sebagai suatu titik balik yang penting yang ditandai dengan tanda-tanda formal dari perubahan agama, akan tetapi sebaliknya dongeng-dongeng Jawa tidak megungkapkan islamisasi, akan tetapi dalam cerita-cerita jawa, peristiwa-peristwa ajaib masih tetap memainkan peranan penting.Babad Tanah Jawi, naskah ini berbahasa jawa yang beraneka ragam susunan dan uraianya. Naskah ini menisbahkan pengislaman pertama orang-orang jawa pada kegiatan sembilan wali(wali songo), namun nama-nama dan hubungan diantara kesembilan orang ini berbeda-beda dalam berbagai naskah.[8]Djaja diningrat memilah bagian-bagian Babad Tanah Jawi menjadi tiga tahap, yakni: 1. Zaman Kraton Mataram dan masa sebelumnya sampai tahun 1677, selesai disusun oleh pangeran Adi Langu II,sesaat sesudah tahun 1705.
2. zaman kraton Kartasura dari tahun 1677 sampai 1718. Yang diselesaikan oleh carik Bajra, semasa pemerintahan amngkurat IV(1718-1727)
3. zaman kraton kartasura dari tahun 1718 sampai 1743,selesai sesudah tahun 1757 dibawah pemerintahan sunan pakubuwana III(1749-1792).[9]
Sejarah Banten, merupakan sebuah naskah yang berbahasa Jawa lainnya, yang berisi cerita-cerita pengislaman, kebanyakan cerita-cerita ini bertarikh ahir abad XIX. Tapi dua diantaranya merupakan suatu salinan naskah asli yang ditulis pada tahun 1730-an dan 1740-an.
Disamping sumber-sumber tersebut juga ditemukan dua dokumen lagi yang membantu substansi pada cerita mengenai islamisasi. Kedua naskah tersebut berbahasa Jawa itu berisi ajaran-ajaran islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Naskah yang satu adalah sebuah primbon, yang berisi catatan yang di buat oleh seorang atau beberapa orang murid dari seorang ulama. Naskah yang satu lagi dinisbahkan oleh G.W.J Drewes kepada seorang ulamayang bernama syekh Baridan berisi pertimbangan terhadap serangkaian hal yang diperdebatkan kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistis.[10] Primbon tersebut mempunyai fungsi yaitu untuk memperhitungkan waktu baik dan buruk untuk melaksanakan perhelatan serta upacaranya. Di daerah pedesaan pada abad ke 19 juga masih hidup aliran tradisional seperti rati adilisme, milinerisme, nativisme, revivalisme dan lain sebagainya.[11]
Selain islamisasi Nusantara, Islamisasi di Asia Tenggara pun sangat menarik untuk di kaji, dalam hal ini islam di Asia Tenggara menyajikan bukti-bukti dari dalam maupun luar mengenai sejarahnya, sama dengan tradisi keagamaan lainnya. Bukti dari dalam berkaitan dengan soal iman sebagaiman bukti internal mengenai peralihan inggris menjadi kristen. Asia tenggara ini menggambarkan peristiwa-peristiwa gaib yang menyertai peralihan sebuah negara menjadi islam, namun perbedaan antara campur tangan ilahiah itu tentu perlu pula diperhatikan. Kronik-kronik melayu seperti kronik pasai, malaka, dan patani tidak berbeda secara mencolok dengan cerita yang berasal dari bagian dunia lain. Kronik-kronik ini tidak ragu menggambarkan kekuasaan para penguasa dan asal-asal negara dengan menggunakan konsep kekuatan magis yang berasala dari masa praislam. Seperti dalam tradisi islam jawa dan tradidi Banjaryang menjadi turunannya, kita menemukan unsur-unsur kepercayaan pra-islam secara jelas. Motif perbandingan agama paling jelas ditunjukan dalam hikayat banjar adalah bahwa pemimpin jipang di jawa Timur”sangat terkesima ketika melihat pancaran raja bungsu, yaitu raden Rahmat. Dia berlutut di depan raja Bungsu dan memohonuntuk di islamkan.[12]
Kehadiaran islan di asia Tenggara ini di bawah oleh kaum pedagang atau melalui perdagangan dan acap kali di perkuat dengan kekuatan politik dan militer. Tanpa keberhasilan saudagar muslim, orang-orang asia tenggara tidak akan perna sama sekali berhadapan dengan pilihan yang bernama islam, dan tanpa dukungan kekuasaan negara pilihan ini tidak akan mampu menjangkau mereka yang berada di luar pusat-pusat perdagangan.[13]
Dengan adanya penyebaran islam serta islamisasi yang terjadi di Asia Tenggara, maka banyak pengaruh yang terjadi di dalmanya seperti adanya arabisasi di dalam pemerintahan serta pemikiran politiknya. Dengan demikian gagasan-gagasan politik yang diambil oleh para penguasa Asia Tenggara adalah gagasan yang sesuai dengan pemikran politik pra-muslim di kawasan tersebut, seperti dalam sumber portugis, sebagai contoh sering merujuk pada “casizes”di negara asia tenggara kata ini diterjemahkan menjadi “kadi”, kata tersebut tidak merujuk pada para hakim islam dalam beberapa teks “casis” mungkin merupakan campuran antara dua kata, yaitu bahasa Arab”kasis” seorang pemimpin umat kristen, dan “kadi” hakim.[14]
Unsur-unsur hukum islam juga ditemukan di Asia Tenggara pada masa pra-kolonial, shari’ah digambarkan sebagai suatu sumber hukum dalam beberapa tulisan melayu. Seperti di Banten, jawa barat pada abad 17, jelas sebagai akibat pengaruh para ulama Islam hukuman-hukuman diberlakukan atas penggunaan tembakau dan ganji. Dikalangan negara-negara muslim Asia Tenggara, terdapat petunjuk-petunjuk tentang kehadiran hukum islam dan pelaksanaan hukum sebelum masa kekuasaan kolonial. Seperti di Aceh awal abad ke 17, ”setiap orang memberikan penghormatan kepada kodi tua”. Dan seperti telah di catat, tempat hukum dan hukuman Islam di terapkan, sultan menaraik para ulama Islam dari berbagai wilayah ke istana mereka.[15]Lembaga-lembaga islam yang ada di Asia tenggara, menetapkan bahwa hukum merupakan tanggung jawab raja, jadi siapapun yang melanggar hukum yang telah dinyatakan dalam undang-undang yang dibuat oleh raja dan wakilnya berarti bersalah dan melakukan pengkhianatan terhadap sang bagindanya. Seperti halnya orang melayu mereka beranggapan bahwa dirinya adalah sebagai hamba raja dan hukum juga adalah  milik raja. Sesuai dalam bukunya Milner yang berjudul Islam dan Martabat Raja Melayu
Undang-undang malaka melukiskan sultan yang memerintah sebagai pemilik undang-undang, dan perpaduan hukum islam dan hukum adat yang dicatat dalam buku hukum ternyata mempunyai titik acuanya yaitu raja. Pendahuluan yang terdapat dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa adat ini turun ke kita, semenjak masa Iskandar Agung, dan bahwa keturunanya sulatan Mohammad Syah, raja muslim pertama dari malaka telah menetapkanya.[16]
Jadi, dalam Undang-Undang Melaka, hukum di kemukakan sebagai sebuah aspek martabat raja. Asas-asas yang dipaparkan dalam hukum ini seringkali digemakan dalam karya-karya tulis melayu. Raja sebagai pusat pemerintahan juga diterapkan dalam pemerintahan Melayu Muslim, yang mana kerajaan yang berpusat pada raja, yang bersifat seremonial, sangat bertentangan dengan citra sebuah negara islam sebagai komunitas orang-orang beriman yang diatur oleh hukum syaria’h.
 Islamisasi di Asia Tenggara, termasuk nusantara berpengaruh pada arabisasi pada nama-nama raja. Seperti raja-raja Melayu sering kali digambarkan memakai gelar-gelar Muslim setelah memeluk agama islam. Merah Siluh, sewaktu beralih agama islam menerima gelar Arab, yaitu sultan, dan dalam suatu sidang para pemimpin dan rakyatnya yang menyatakan Merah silu sebagai”bayang-bayang tuhan di bumi”(zill allah fil ‘Alam).[17] Dengan adanya arabisasi ini maka bahasa arab merupakan bahasa politik islam yang utama. Di dalam buku Renaisans Islam Asia Tenggara, karya Azyumardi Azra.
”Menurut Lewis, bahwa sumber bahasa politik islam yang utama dan pertama, adalah bahasa Arab, selanjutnya disusul oleh bahasa Persi dan Turki yang sangat jarang mengalami Arabisasi”.[18] Wilayah muslim Asia Tenggara, secara kultural kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum muslim, berbagai suku bangsa tidak hanya mengadopsi peristilahan arab, tetapi juga istilah arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal. Jadi banyak kosakata arab yang di adopsi bahasa Melayu-Indonesia, yang berkaitan dengan konsep atau soal-soal keagamaan: ibadah, hukum islam, pendidikan, dan tradisi sosial atau adat. Sebagian lagi diantara kosakata itu menyangkut politik.[19] Jadi, dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa politik islam di Asia Tenggara, tepatnya Melayu-Indonesia sangat dipengaruhi bahasa politik Islam yang berlaku di timur tengah.



[1] Azyumardi Azra, Jarinan Ulama Timur Tengah dan kepulauan nusntara Abad XVII dan VIII (Bandung: Mizan, 1994), hal. 2-7
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002).hal.32
[3] Ibid.., hal.24
[4]Ibid,,hal.31
[5] Ricklefs, M, C, Sejarah Indomesia Modern.cetakan kedelapan.(yogyakarta: UGM pers, 2005), hal.4
[6] Ibid,.,hal,8
[7] Kuntowidjoyo, Metodologi Sejarah. Edisi kedua.(Jogjakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 15
[8] Ricklef, sejarah Indonesia modern, hal.14-17
[9] De graff , Historiografi Indonesia: sebuah penagntar,(Jakarta; Gramedia, 1995), hal.103
[10] Ricklef.Sejarah Indonesia Modern. Hal.21
[11] Denys lombard, Nusa Jawa :Silang Buda, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal.Xii
[12]Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara,(Jakarta: LP3ES, 2004) hal.22
[13] Ibid,.,hal.23
[14]A.C. Milner, “Islam dan Negara Muslim” dalam Azyumardi Azra (Ed.),prespektif Islam Di Asia Tenggara, ,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1989) hal.147
[15]Ibid,.hal.148
[16] A.C.Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu”. Dalam azyumardi azra(ed.), Islam di asia tenggara  perspektif sejarah(Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1989), hal, 49
[17] Ibid,.,hal.52
[18] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: sjarah wacana dan kekuasaan,(Bandung: Rosda,1999),hal,75
[19] Ibid,,77


Minggu, 22 April 2012

Langkah-langkah Penelitian Hadits dan Pengaplikasiannya


Langkah-langkah Penelitian Hadits dan Pengaplikasiannya


A.    Pendahuluan
       Sebagaimana halnya al-Qur’an, al-hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap al-hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini dikarenakan perbedaan dari segi datangnya al-Qur’an dan hadits. Kedatangan (wurud),atau turun (nuzul)nya al-Qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah SWT. Sedangkan Hadits dari segi datang (al-wurud)nya tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadits yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian tarhadap penulisan hadis pada zaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya dan juga karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.

       Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan dibahas tentang langkah-langkah penelitian hadits beserta cara mengaplikasikannya.

B.     Tahap Penelitian Hadits
       Langkah awal penelitian hadits ialah at-takhrijul hadits, menurut pengertian asal bahasanya ialah berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu. Kata lain dari at-takhrij ialah al-istinbat (mengeluarkan), at-tadrib (melatih), dan at-taujih (memperhadapkan). Metode yang dipakai dalam at-takhrij ada dua yaitu takhrijul hadits bil-lafdz dan at-takhrijul hadits bil-maudhu’. Adapun takhrijul hadits bil lafdz berdasarkan lafalnya dan takhrijul hadits bil-maudhu’ berdasarkan topik masalahnya. Selain itu menurut Endang Soetari ada lima metode takhrij, yaitu:
  1. Takhrij dengan mengetahui rawi sahabat.
  2. Takhrij dengan mengetahui kalimat matan.
  3. Takhrij dengan mengetahui kalimat maudhu’ (tema).
  4. Takhrij dengan mengetahui keadaan rawi.
       Sedangkan menurut para tokoh metode yang dapat digunakan untuk meneliti hadits adalah:
  1. Meneliti hubungan hadits dengan dengan al-Qur’an beserta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir.
  2. Meneliti sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah SAW. Sampai terjadinya pemalsuan hadits dan usaha para ulama’ untuk membendungnya dengan melakukan pencatatan sunnah.
  3. Meneliti dengan cara membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadits.
     C. Model-model Penelitian Hadits
       Peredaran dan pengaruh kedua macam kitab yaitu kitab Sahih Bakhari (810-870)& Sahih Muslim (810-875) sangat luas, maka belakangan datang para peneliti yang selain menggunakan pendekatan perbandingan juga melakukan kritik. Ulama yang paling keras mengkritik Bukhari adalah al-Daruquthni, yang mengatakan bahwa tidak semua hadits yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim diterima oleh ulama secara sepakat. Hal tersebut tidak hanya datang pada Bukhari, melainkan datang juga kepada Muslim.
       Menurut hasil penelitian Jumhur Ulama, bahwa Sahih Bukhari lebih tinggi nilainya dari Sahih muslim dengan alasan:
1)Persyaratan yang dikemukakan Bukhari lebih ketat dibandingkan persyaratan yang dikemukakan Muslim.
2)Kenyataan menunjukan bahwa kritik terhadap Bukhari lebih sedikit dibandingkan kritik yang ditunjukan pada Imam Muslim.
3)Perawi hadis Bukhari yang dikritik adalah orang-orang yang diketahui keadaanya oleh Bukhari, atau Bukhari lebih kenal pada orang tersebut daripada orang yang mengkritiknya.

       Pada sisi lain ada yang menilai bahwa Shaih Muslim jauh lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang dimiliki Bukhari. Kelebihannya antara lain:
1)Sistematikanya lebih baik.
2)Dari segi redaksi, Muslim labih diterima daripada Bukhari, karena Muslim lebih banyak   meriwayatkan dengan lafadz, sedangkan Bukhari lebih banyak meriwayatkan dengan makna.
Berikut model-model penelitian:
1. Model H.M Quraish Shihab
       Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul membumikan al-Qur’an hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits yaitu mengenai hubungan hadits denagn al-Qur’an dan fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan penelitian beliau adalah kepustakaan dan bacaan sedangkan sifat penelitiannya bersifat analitis. Hasil penelitian beliau tentang fungsi hadits terhadap al-Qur’an menyatakan bahwa al-Qur’an yaitu menjelaskan maksud firman-firman Allah.
2. Model Mushtafa Al-Siba’iy
       Penelitian yang dilakukan Mustafa ak-Siba’iy bercorak eksfloratif dengan menggunakan pendekatan histories dan disajikan deskritif analitis. Hasil penelitian yang dilakukan beliau mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya pemalsuannya hadits.
3. Model Muhammad al-Ghazali
       Penelitian yang dilakukan Muhamad al-Gazali dari segi kandungan, termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut. Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Dalam hasil penelitiannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash, shalat tahiyat masjid, etika makan, minum, antara sarana dan tujuan dan masalah-masalah fiqih yang aktual lainnya.
4. Model Zain al-Diin ‘Abd al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy
       Dalam penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitian yang ditunjukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu. Buku yang pertama kali mengemukakan macam-macam hadis yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada yang tergolomg sahih, hasan, dhaif. Kemudin dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadis musnad, muttasil, marfu, maukuf, mursal, al-munqatil. Dilihat dari keadaan kualitas matannya dibagi menjadi hadits yang syadz dan munkar.
5. Model Penelitian Lainnya
       Pada model penelitian hadis ini yang diarahkan pada fokus aspek tertentu saja. Misalnya, Rifat Fauzi Abd al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan al-Sunah pada abad ke-2 Hijriah. Hasil penelitiannya itu dilaporkan dalam bukunya berjudul Tautsiq al-Sunnah fi al-Qurn al-Tsany al-Hijri Ususuhu wa Itijahat.Selanjutnya Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW. Sementara itu Mahmud Al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi hadis serta penentuan sanad. Ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan mengambil bahan-bahan pada hasil penelitian lainnya.  
     D. Penerapan Hadits
       Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Meskipun al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama, akan tetapi ada beberapa perkara yang sedikit sekali al-Qur’an membicarakannya atau al-Qur’an membicarakannya namun secara global saja, bahkan ada beberapa perkara yang tidak dibicarakan dan Hadits-lah jalan keluar untuk memperjelas dan memperinci ke-universalan al-Qur’an. Kedudukan hadits mendekati al-Qur’an, hadits memberi penjelasan terhadap kandungan al-Qur’an yang mujmal, memberi pengecualian terhadap yang ‘aam dalam al-Qur’an, membatasi kemutlakan pesan al-Qur’an, menguatkan kandungan al-Qur’an dan menetapkan hukum baru, di dalam hadits terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam al-Qur’an.
       Disinilah hadits diterapkan dan memiliki peran, yaitu memperjelas dan memperincikan kandungan isi al-Qur’an atau sebagai sumber hukum agama Islam yang kedua. Hal tersebut sudah disepakati para ulama’ dan seluruh umat Islam. Hal ini sudah dijelaskan dalam al-Qur’an al-‘Imran ayat 132, Allah berfirman:
132. Dan ta`atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
 Oleh karena itu seluruh umat Islam harus mengikuti hadits sebagaimana mengikuti al-Qur’an.
       Setelah mengetahui kedudukan, fungsi dan sebab hadits dijadikan sebagai sumber ajaran agama, maka kita selaku umat Islam harus mengaplikasikan atau menerapkan apa yang diperintahkan atau dilarang dalam Hadits Nabi SAW. Dengan mengikuti cara hidup rasul baik mengikuti perkataan, perbuatan ataupun ketetapan yang ditetapkan rasul berarti kita telah dapat menerapkan isi dari hadits dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh dari pengaplikasian Hadits dalam kehidupan sehari-hari diantaranya yaitu tata cara shalat. Tata cara shalat merupakan pengaplikasian hadits nabi “ Sholluu kamaa raaitumuunii usolli”. Sebab dalam Al-qur’an tidak dijelaskan bagaimana cara melaksanakan shalat. Dalam Al-qur’an hanya ada ayat yang memerintahkan untuk shalat tanpa diperinci dengan tata caranya. Selain itu contoh penerapan hadits dalam kehidupan sehari-hari yaitu shalat berjamaah. Shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada shalat sendirian (munfarid). Hal tersebut sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim “ Shalat berjamaah itu lebih utama nilainya daripada shalat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat”. Namun, perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya.

     E. Simpulan
       Kita selaku umat Islam yang berpedoman pada Al-qur’an dan Hadits wajib mengaplikasikan atau menerapkan hadits dalam kehidupan sehari-hari. Diantara contoh pengaplikasian hadits yaitu tata cara shalat. Tata cara shalat merupakan pengaplikasian Hadits nabi “Sholluu kamaa raaitumuunii usolli”. Sebab dalam Al-qur’an tidak dijelaskan bagaimana cara melaksanakan shalat. Dalam Al-qur’an hanya ada ayat yang memerintahkan untuk shalat tanpa diperinci dengan tata caranya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah, lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya.

    




















Sejarah Penerapan Hukum Islam di Indonesia



Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.

Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.

1.      Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Dalam konteks sejarah Nusantara, hukum Islam telah diterapkan pada masa-masa kerajaan Islam. Yang menjadi hukum di kerajaan-kerajaan itu adalah hukum-hukum syari’at. Literatur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literatur fiqih dengan mazhab syafi’i.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim.[2] Samodra pasai merupakan tempat pertama Islam masuk ke nusantara, karena letaknya strategis untuk perdagangan melalui transportasi laut. Mazhab (aliran) hukum Islam yang berkembang dikerajaan Samudra pasai yaitu mazhab syafi’i. [3] paling tidak, Ibnu Bathutahah, seorang pengembara muslim abad ke-14 mencatat fakta historis tersebut dalam karya monumentalnya “rihlah Ibnu Bhatuthah. Dia menyebutkan kunjungannya di sebuah kerajaan Islam do pesisir Sumatera, menerapkan hukum fikih mazhab Syafi’i, rakyatnya senang berjihad dan perang tetapi mempunyai sifat tawadlu’ yang tinggi.[4]
Hasrat memberlakukan hukum islam juga dilakukan para penguasa kesultanan Aceh. Ini terbukti dengan adanya teks bustan as-salatin, karangan Nuruddin Ar-Raniri, mencatat bahwa sultan Alaudin adalah raja yang alim, yang sangat menghendaki rakyatnya melaksanakan ajaran islam. Bahkan, di kesultanan Aceh penerapan hukum islam lebih jauh dilakukan melalui lembaga yang dirancamg bertanggung jawab dalam tugas yang demikian yaitu lembaga kadi. Masa kejayaan kesultanan Aceh terjadi pada masa sultan alaudin Riayat Syah tersebut. Pada masa itu, Aceh mulai berhubungan dengan pusat-pusat perkembangan Islam di tingat Internasional sehingga aceh dapat menjalin hubungan dengan Kerajaan Turki usmani.[5] Pembagian hukum Islam hanya berlaku pada maslah Agama dan Masyarakat. Pengembara asal Prancis yang singgah di Aceh pada tahun 1621, mencatat adanya dua lembaga hukum yang berlaku di kerajaan, yaitu peradilan yang murni mengurusi keagamaan, tepatnya perilaku masyarakat yang bertentangan dengan hukum islam, seperti minum alkohol, berjudi, meninggalkan sholat dan puasa, serta peradilan yang berurusan dengan masalah kemasyarakatan seperti perkawinan, cerai dan warisan.[6]
Mazhab hukum Islam yang berkembang di kerajaan Aceh yaitu  Mazhab Syafi’i, yang pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda mempunyai seorang mufti yang terkenal bernama syekh Abdul Rouf Singkel. Selain itu, ada ulama besar Nuruddin Arraniri dengan kitab karangannya yang berjudul Sirathal Mustaqim. Kitab tersebut digunakan sebagai pedomanbagi guru-guru agama dan Qhodi.[7] Mazhab Syafi’i berkembang pesat di Aceh. Banyak ulama-ulama mazhab Syafi’i yang berdomisili di Aceh. Hal tersebut tidak lepas dari semangat Sultan Iskandar Muda Makhkota  Alam Syah dan sultan sesudahnya yang sangat menggalakkan kedatangan para ulama untuk kepentingan dakwah Islamiyah.[8]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kesultanan Malaka yang juga menerapkan hukum Islam. Di kesultanan Malaka, aturan tersebut tertuang dalam undang-undang Malaka yang berisi regulasi kerajaan mengenai hampir semua aspek kehidupan di kerajaan, dan undang-undang laut Malaka. Yang lebih spesifik pada pengaturan aspek keamanan perdagangan maritim di kerajaan dalam upaya penerapan hukum Islam di kalangan masyarakat kerajaan. Dalam undang-undang Malaka, ditulis misalnya aturan mengenai hak dan kewajiban raja seta para elite politik di kerajaan. Ketentuan pernikahan termasuk hukum talak atau cerai, hukum pidana untuk menciptakan keagamaan di lingkungan kerajaan, dan regulasi mengenai kegiatan perdagangan. Sebagian besar aturan tersebut diadopsi dari hukum islam, selain hukum adat yang berlaku di masyarakat. [9]
Kenyataan serupa juga dapat ditemukan di kerajaan Banjar. Kentalnya hukum Islam di kerajaan Banjar ini tercermin dari ba’iat yang berbunyi “ patih baraja’an Dika, Andika badayan Sara.” Artinya, saya tunduk pada perintah Tuanku, karena Tuanku berhukumkan syara’. Selain itu tumbuh daan berkembangnya hukum Islam di kerajaan banjar dibuktikan dengan terbentuknya para mufti atau qadli., yang pada waktu itu bertugas untuk menangani masalah-masalah di bidang hukum perceraian, perkawinan, kewarisan serta segala urusan yang berhubungan dengan hukum keluarga.[10] Selain itu Mufti yang terkenal pada saat itu ialah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kitab fikih karya Arsyad yang cukup terkenal adalah Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh fi Amr ad-Din, yang pada dasarnya merupakan sarah dari kitab Sirathal Mustaqim karay Nuruddin Arraniri[11]. Guna mengefektifkan pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Banjar dan di masyarakat, maka diperlukan adanya lembaga yang khusus mengurusi dan menampung permasalahan pemberlakuan hukum Islam tersebut. Oleh karena itu Syekh Arsyad mengajukan saran untuk dibentuk Mahkamah Syari’ah dan Jabatan Mufti.[12]
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.


2.      Penerapan Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Kedatangan belanda di Indonesia memberikan suatu dampak yang kurang baik. Hukum Islam yang bermazhab Syafi’i yang berlangsung cukup lama, di hapus pada pemerintah kolonial Belanda dan menggantinya dengan hukum belanda. Hukum syari’at hanya dibatasi untuk bidang-bidang keluarga seperti nikah, tala’, ruju’, dan yang sejenisnya. [13] Namun,  penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Pada tanggal 25 Mei 1760, Belanda menerbitkan pera­turan Resolutie der Indische Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Melalui peraturan ini, dalam peraturan tersebut Belanda hanya menga­kui berla­kunya hukum Islam dalam bidang keke­luargaan (perka­winan dan kewarisan) saja dan meng­gantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan dengan pera­dilan buatan Belanda dengan hakim-hakim Belanda dibantu oleh para penghulu qadhi Islam.[14]
Untuk membatasi ruang gerak ulama dalam mengembangkan hukum Islam, dikeluarkan Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No, 78 yang menugaskan kepada Gubernur Jendral untuk mencampuri masalah agama. Bahkan, harus mengawasi gerak-gerik para ulama bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.[15] Untuk melaksanakan tugas itu pemerintah Belanda membentuk suatu komisi di bawah ketua Mr. Scholten van Dad Haarlem.
Pada tahun 1882 terbentuklah peradilan Agama yang menjadi sebuah institusi yang mengurusi masalah di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, sedekah dan wakaf. Sebelum menjadi sebuah institusi, peradilan agama masih berbentuk perorangan yang hakimnya dipegang oleh para penghulu atau ahli agama. Dengan di bentuk peradilan Agama menjadi sebuah institusi, jelaslah bahwa pemerintah Belanda mengakui bahwa hukum Islam (godsdiengtige Wetten) berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam.[16]
3.      Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
a.       Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b.      Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
c.       Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
d.      Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e.       Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f.       Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Kebijakan pemerintah Jepang terhadap peradilan Agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda).[17]  Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
4.      Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Pada masa Orde Lama hukum Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan dikatakan pada masa itu hukum Islam berada pada masa yang amat Suram. [18] Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. NU memiliki peran dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia walaupun tidak begitu berarti. Akan tetapi, peran untuk pengembangan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat sangatlah besar, setidaknya bagi anggota-anggota yang memang penduduk mayoritas di Indonesia.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia mengalami masa yang amat suram. Namun, ada perkembangan unik di daerah Aceh. Pada tanggal 7 April 1962 Panglima Militer Aceh menyatakan menyutujui hasrat para pemimpin umat Islam untuk dipatuhinya beberapa unsur hukum Islam di daerah Aceh. Selanjutnya, tanggal 15 Agustus 1962 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan akan melaksanakan unsur-unsur syariat itu juga di usulkan untuk membentuk sebuah majelis. Usulan tersebut akhirnya terwujud dengan dibentuknya Majelis Ulama pada tahun 1966.[19]
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
5.      Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.








BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian secara singkat dari pembahasan masalah ini, penulis sedikit dapat menyimpulkan beberapa hal antara lain: perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ada dan berdiri. Penerapan hukum Islam berkembang pesat pada masa itu. Namun, setelah Belanda datang, posisi hukum Islam tidak mengalami kemajuannya karena diskriminasi dari Belanda. Hal itupun terjadi hingga Orde Baru. Memang ada sedikit upaya dari umat muslim untuk mengupayakan pemakaian hukum Islam bagi rakyat Indonesia.
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.



[1] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan. (jakarta:Globalmedia, 2004). Hal. 54
[2] Roibin M. Hi, Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010). Hal. 131
[3] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 17
[4] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan. (jakarta:Globalmedia, 2004). Hal. 55
[5] Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2005). Hal. 18
[6] Roibin, Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010). Hal. 132-133
[7] Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2005). Hal. 19
[8] Marzuki wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara. (Yogyakarta: Lkis, 2001).  Hal. 114
[9]M. Hi, Penetapan Hukum Islam, dalam lintasan sejarah. (Malang:UIN Maliki Press, 2010). Hal. 132
[10] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 29
[11] Marzuki wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara. (Yogyakarta: Lkis, 2001).  Hal. 121
[12] ay4x.wordpress.com/kyai-abdurahman-wahid/foto-–-foto-para-ulama/syaikh-arsyad-al-banjari/
[13] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan. (jakarta:Globalmedia, 2004). Hal.55
[14] http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2165:legislasi-harmonisasi-hukum-islam&catid=11:opini&Itemid=8
[15] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 37-38
[16] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). Hal. 40-41
[17] Ibid Hal. 86
[18] Ibid Hal. 108
[19] Ibid. Hal. 111-112